BATAM, POSMETRO.CO: Lokalisasi Sintai berkedok Pusat Rehabilitasi Non Panti, Teluk Pandan, Tanjunguncang, Rabu (15/1) siang terlihat lengang. Memang, aktivitas bar di sana dibuka untuk malam hari.
Namun, siang itu dua wanita bertubuh bohai duduk di teras depan salah satu bar. Sambil menghisap sebatang rokok, salah satu dari wanita yang mengenakan kaos oblong usang dipadu celana hot pants tak luput memperhatikan kendaraan tamu yang lewat.
“Belum buka, malam kalau mau ke sini,” jawab santai seorang perempuan berambut pirang itu ditemui di lokasi. Memang saat itu mereka kelihatan baru bangun tidur. Mereka baru selesai menyapu. Pintu bar baru sebelah yang dibuka.
“Dadagghh,” kata perempuan itu lagi sambil berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Memang siang itu, tidak ada aktivitas di bar tersebut. Sepi. Sebagian lampu teras bar belum dimatikan.
“Tapi sepi sekarang. Nggak kayak dulu. Orang jual bir aja satu malam bisa sampai 8 kes. Kalau sekarang per botol. Lima botol saja laku udah hebat kali,” keluh Agus, anggota Sekretariat Bina Sosial ditemui POSMETRO.CO di lokasi.
Lanjutnya, kondisi itu dirasakannya sejak 2015 lalu. Diakui Agus, dulunya di Sintai itu ada sekitar 100 bar yang ‘hidup’. Itu pertama kali buka, setelah digusur dari Samyong, Sengkuang, Batuampar, lokalisasi ternama di kala itu.
Lanjut Agus, dari 100 bar atau cafe, yang buka ada 34 bar tiap malam. “Sekarang lihat sendirilah, perusahaan galangan banyak tutup. Gelombang PHK besar-besaran. Kini tinggal 15 bar saja yang buka dan bertahan,” katanya.
Agus tak menampik adanya praktik prostitusi di lokasi Sintai. Katanya sudah menjadi rahasia umum. Sebab, dampak PHK itu juga dirasakan oleh para Pekerja Seks Komersial (PSK) di sana.
“Dulunya terdata 1.200-1.500 cewek. Sekarang lihat sendirilah tinggal 100 an cewek,” kata pria yang juga pengelola bar itu.
Mereka, sebut Agus, ada mungkin yang sudah taubat dan pulang ke kampung halaman. Ada juga yang mencari pekerjaan lain di luar. Namun selama ini, Bina Sosial di situ rutin mengikuti berbagai kegiatan penyuluhan dari instansi pemerintah baik narkoba, kesehatan dan lainnya.
“Terkait adanya kebijakan pakai kondom tidak ada yang menyerukan. Itu kebijakan ‘anak-anak’ sama tamunya,” timpal dia.
Agus menegaskan, kalau di sana hanya menyediakan minum dan sewa tempat atau kamar. Kalau lanjut, itu urusan tamu dengan ceweknya.
Terkait wacana Pemerintah Kota Batam akan menutup lokalisasi Sintai, pihaknya mengaku tak punya wewenang untuk melawan.
“Paling kita bertahan hidup di luar,” tambahnya. Terkait karcis masuk untuk pengunjung sebesar Rp 5.000 itu, setahu Agus uangnya digunakan untuk biaya pengelolaan tempat. Bukan retribusi yang biasanya disetor ke pemerintah.
“Itu untuk bayar listrik, perbaikan jalan, fasum, keamanan dan lainnya,” tutup dia.
Sementara, salah seorang cewek yang bekerja di situ, mengaku tidak begitu tahu adanya wacana penutupan lokalisasi.
“Kalau sama Wali Kota saya kenal. Tuh, spanduknya di depan. Tapi kalau mau tutup. Ya nggak tahu. Palingan balik ke kampung,” jawabnya singkat menanggapi wacana penutupan itu.(cnk)