![](https://posmetro.co/storage/2025/02/1520251878.jpg)
KARIMUN, POSMETRO.CO : Kontroversi penjualan lahan di Desa Sugie, Kecamatan Sugie Besar terus mendapatkan perhatian dari DPRD Karimun. Sengketa penjualan lahan ke perusahaan ini membuat anggota legislatif kembali menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan berbagai pihak. Termasuk dua kubu warga Desa Sugie yang bersengketa.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi I, Anwar Hasan, dihadiri anggota dan ketua Komisi 3, beserta anggota akhirnya mengeluarkan 3 point rekomendasi dalam penyelesaian permasalahan lahan tersebut.
Rapat dihadiri langsung kadis Sugie, Mawasi, Camat Sugibesar, Samad Rakaat, perwakilan pemilik lahan, Djuniman, dan perwakilan warga yang menolak yang dihadiri Sofiandi dan Bacok.
Dalam forum terbuka itu, Kades Sugie menjelaskan kronologis terkait lahan tersebut yang berakhir penolakan warga.
Mawasi menceritakan permasalahan yang kini muncul bermula pada akhir 2023, datang investor dan warga dari Batam dimana berencana untuk membeli lahan di desa Sugie. Dimana perwakilan itu akhirnya mendatangi rumah Djuniman.
“Saya lupa nama perusahaanya. Setelah itu mereka membentuk tim dengan pak Djuniman di tiga desa. Namun akhirnya selama beberapa bulan pak Ismeth tidak jadi beli lahan. Gak tahu apa permasalahanya,” ujar Mawasi membuka pembicaraan.
Setelah gagal menawarkan tanah di perusahaan itu, kemudian berkomunikasi dengan PT ITS, untuk membeli lahan juga di desa Sugie. Namun sepertinya juga tidak sepakat. Hingga akhirnya bertemu dengan PT Gurin. Dimana sebelumnya pada tahun 2022, PT Gurin pernah sosialisasi melibatkan seluruh masyarakat Sugie sebanyak dua kali pertemuan terkait pengembangan perusahaan di desa Sugie.
Dari situlah akhirnya muncul pengajuan sporadik yang diajukan Djuniman ke Kepala Desa Sugie pada tahun 2024.
“Permohonan pembuatan surat tahun 2024, dan diterbitkan pada Mei tahun 2024. Saya mengeluarkan surat itu mengacu pada Kemenhut 76/2015 tentang batas wilayah hutan dimana lahan yang diajukan Djuniman berstatus HPL,” ucap Mawasi.
Munculnya sporadik sebanyak 45 Persil itu akhirnya memicu konflik di masyarakat. Sebagian masyarakat menolak akan penjualan lahan yang dinyatakan merupakan lahan bakau.
Setelah terbit sporadik, masyarakat pemegang sporadik langsung berkomunikasi dengan pihak PT Gurin. Hingga akhirnya sepakat Gurin membeli lahan tersebut.
“Totalnya 70 hektar atau 80 hektar, yang saya tahu mereka sepakat dan akhirnya dibayarkan uang Rp2 juta untuk masing-masing pemegang sporadik sebagai uang pengikat, karena pembayaran tak melewati desa, perusahan langsung dengan masyarakat,” tambah Mawasi.
Sebelum konflik antar warga ini pun muncul kepermukaan, tepatnya pada tanggal 3 Januari, datang perwakilan warga ke rumah Mawasi mempertanyakan lahan tersebut.
“Mereka bilang Kami membawa dukungan masyarakat. Kami merasa punya hak juga. Solusinya seperti apa. Saya bilang duduk bersama dengan pak Djuniman, kebetulan pak Djuniman mau kebatam waktu itu, akhirnya mereka susul pak Djuniman ke pelabuhan dan akhirnya sepakat duduk bersama pada tanggal 7 Januari. Ternyata tanggal 7 gak jadi datang tanggal 8 mereka datang ke desa. Minta fasilitasi dengan pak Djuniman. Duduk kekeluargaan atau seperti apa. Sepakat perwakilan duduk dengan pak Juniman musyawarah, namun tanggal 9 jam 8 tahu-tahu kantor desa dah penuh dengan masyarakat. Saya bilang kok seperti ini. Kalau gini saya tak sanggup,” cerita Mawasi lagi.
Namun saat pertemuan tidak mendapatkan kata sepakat. Meski sempat diutarakan pembagian 90/10, 85/15 hingga 50/50. Dimana masyarakat tetap minta sporadik yang sudah di keluarkan Kepala Desa di Batalkan.
“Dan akhirnya dibuat surat sporadik itu di batalkan, dan pak Djuniman juga ikut tanda tangan surat itu,” tambah Mawasi lagi.
Sementara sepanjang proses pengajuan sporadik yang diajukan Djuniman, Mawasi mengaku tidak turun langsung melihat lahan tersebut. Namun ia meminta pihak RT untuk ikut turun meninjau lahan tersebut.
Bahkan dalam RDP tersebut juga terbuka adanya pemilik lahan yang dibuatkan sporadik bukan merupakan warga Desa Sugie.
Hal ini disampaikan warga Desa Sugie, Bacok, ia menyebutkan sejumlah nama yang dikeluarkan sporadik merupakan warga Tanjungbalai dan ada juga yang berada di Batam. Ia pun sempat meminta agar permasalahan ini ditangani aparat penegak hukum dan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
“Kita minta pembatalan sporadik tanggal 9 Januari 2025, namun sayang nya sampai tanggal 24 Januari, Kades tak menyurati perusahaan, atas pembatalan sproadik itu, karena semua surat sporadik sudah di tangan perusahaan. Sehingga perusahaan tidak tahu terjadi ada konflik ini. Ada apa ini?,” teriak Bacok lantang.
Kemudian lanjutnya dari 45 sporadik terdapat orang luar. Masyarakat Tanjungbalai dan Batam seperti Salim, Wahyu Agil, Ramli.
“Pak kades membenarkan punya tanah di Sugie ini, pak kades mengaminkan meski tak secara lisan, namun dengan mengeluarkan sporadik itu dia mengaminkan,” tegasnya lagi
Bacok pun meminta tak ada penjualan lahan mangrove ia juga meminta diusut aparat penegak hukum.
“Usut siapa saja yang terlibat tolong di tindak lanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya lagi.
Warga lainnya Sofiandi juga dengan tegas meminta kasus ini menjadi atensi penegak hukum.
“Tindak hukum penjual lahan mangrove, kemudian kami minta untuk kepala desa diberhentikan karena terlibat dalam kesewenang-wenanganya dalam penggunaan jabatan. Dan ketiga kami minta lahan mangrove dibalikan ke masyarakat,” ketusnya.
Sementara itu atas RDP yang menghadirkan berbagai pihak termasuk BPN dan kepolisian, DPRD Karimun pun mengeluarkan 3 point rekomendasi.
“Rekomendasi dprd atas RDP ini yang pertama meminta meninjau kembali sporadik yang sudah dikeluarkan dan mengeluarkan dari lahan Mangrove, kedua
Jangan ada kegiatan apapun hingga adanya keputusan final, dan ketika meminta camat dan kades kembali melalikan mediasi kedua bela pihak, kami beri waktu 15 hari, dan laporkan hasilnya nanti, kalau belum menemui titik temu juga kita akan lihat apakah harus ditempuh jalur hukum atau gimana nantinya,” ucap Ketua Komisi 1, Anwar Hasan.(Ria)