Apakah BP Batam Masih Dibutuhkan? Ini Kata Ampuan Situmeang

    spot_img

    Baca juga

    spot_img

    Share

    >>>Metro Forum Bersama DR Ampuan Situmeang SH, MH

    LEBIH dari separuh usianya, dijalaninya dengan menekuni profesi pengacara. Lahir di Tapanuli Utara, 4 September 1961 nama lengkapnya adalah Ampuan Jubelsar Mallasak Situmeang.

    Ampuan menempuh pendidikan di bidang hukum sejak sarjana hingga doktor. Gelar sarjana ia peroleh dari Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana dilanjutkan studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, dan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

    Metro Forum kali ini, mejadi sepesial. Selasa (8/11) siang, POSMETRO mendapatkan  kesempatan untuk berdiskusi dengan Pakar Hukum Kepri yang selalu banyak penyecerahan hukum terhadap masyarakat. Terutama soal kebijakan publik.

    “Legenda Pakar Hukum” begitu Direktur POSMETRO Haryanto menyebut, tokoh yang satu ini,  sangat konsen menyoroti untuk kepentingan masyarakat luas.

    Berbagai permasalah dibahas dalam diskusi siang itu. Mulai dari kepercayaan publik  terhadap penegak hukum yang saat ini menurun, terutama dengan adanya kasus yang begitu fenomenl, Brigjen Sambo, juga menjadi bahan obrolan. Tentu saja, permasalah-permasalah kebijakan kebijakan publik terkati buruh dengan Undang-Undang Cipta Kerjanya (UUCK).

    Tidak ketinggalan, dalam undang-undang itu juga berkaitan soal Batam, yang tentunya berkaitan dengan BP Batam menjadi perbicangan yang hangat.

    Berikut petikan diskusi bersama sang “Legenda” Dr Ampuan Situmeang SH MH :

    Apa permasalahan utama di negeri ini soal penegakan hukum, kata Profesor Mahfud MD, mau sejahtera penegakan hukum benar, maka ekonomi dan yang lain akan mengikuti ?

    Pertama kita sudah mendeklarasikan diri di dalam konstitusi kita sebagai negara hukum. Di pasal 1 ayat 3 UUD 45 yang diamandemen, kita adalah negara hukum. Tapi negera hukum seperti apa tidak ada penjelasannya. Jadi memang kepastian hukum itu adalah memang faktor penting, di manapun di dunia ini. Sementara kita masih dalam proses transformasi.

    Ya, tadinyakan negara hukum itu tidak dicantumkan dalam konstitusi kita. Tapi setelah diamandemen kita jelas mengatakan, bahwa kita adalah negara hukum. Cuma yang lama mengatakan, kita tidak bedasarkan kekuasaan semata.

    Tapi setelah diamandemen, bahwa kita adalah negara hukum. Sebagai negara hukum konsekwensinya adalah, memang seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, ekonomi dan lain sebagainya harus berdasarkan hukum. Berdazsarkan hukum, tidak harus ditafsirkan semuanya menciptakan produk perundang-undangan.

    Karena hukum tidak sama dengan peraturan perundang-undangan, artinya tanpa ada peraturan perundang-undangan hukum tetap jalan. Justru peraturan perundang-undangan yang diterbitkan negara kita, seperti dibilang Pak Jokowi, ini kita sudah jadi hutan belantara peraturan perundang-undangan.

    Antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain saling berbenturan. Apalagi kalau turunannya lagi peraturan pemerintah. Nah itu, sudah bisa sampai kepada peraturan mentri bisa jadi mengabaikan undang-undang itu sendiri.

    Padahal secara hirarkis kita sepakat tidak boleh bertentangan dengan undang-undangan yang lebih tinggi.

    Jadi itu, dari pernyataan prof mahfud itu, kita ini memang dalam situasi sulit, sekarang dalam proses menegakkan negara hukum itu sendiri. Karena, seluruh regulasi yang diciptakan itu belum harmonis, dan selaras.

    Salah satu contoh kita di Batam inilah, kita dulu dasarnya kepres. Dan kepres itu bertentangan dengan konstitusi. karena apa, menabrak perundang-undangan yang lain. Di sini kan (Batam) disebut sebagai otorita. Otorita itukan memiliki otoritas sendiri. Jadi, disini pemerintahan daerah itu justru terpinggirkan.

    Jadi semua produk perundang-undangan itu harus menyesuaikan, untuk membantu terlaksananya otorita Batam itu.

    Tapi bukannya tunduk pada undang-undangan otonomi daerah. Justru Pemko yang seharusnya lebih dominan setelah reformasi?

    Setelah reformasi akhirnya, kita menyepakati bahwa, kita ini tidak lagi sentralistik. Jadi kita sudah menganut sistem otonomi daerah. Tapi ternyata otonomi daerah ini lama-lama disadari juga. Kalau seperti ini bisa terpecah-pecah. Maka undang-undang nomor 2 tahun 1990 langsung berubah. Menjadi undang-undangan tahun 2004, diganti lagi 2008, diganti lagi dengan undang-undangan nomor 23 tahun 2014.

    Sekarang dengan tahun 2014 di satu sisi yang dibilang otonomi iya, tapi buktinya daerah tidak mempunyai otonomi sendiri untuk mengatur. Karena apa, untuk membuat perda saja harus meminta persetujuan dulu dari Mendagri.

    Bahkan perda-perda banyak yang dicabut oleh kementrian dalam negeri. Terus dianulir itu, tidak boleh. Inilah contoh-contoh, artinya bahwa kita sebagai negara hukum terus berproses kedepan.

    Ada anggapan proses penegakan hukum ini tidak berjalan dengan baik. Apakah sistemnya yang salah, atau orangnya?

    Memang ada teori yang mengatakan, sebaik apa pun peraturan perundang-undangan itu di tangan orang yang tidak jujur tetap saja tidak terlaksana. ada memang seperti itu.,

    Tapi dengan sistem yang tidak baik, itu akan digunakan oleh oknum-oknum itu juga sebagai kesempatan untuk melakukan penyelewengan. Buktinya korupsi itu kan menggunakan kesempatan kelemahan dari sistem yang ada. Akhirnya semuanya yang seharusnya bertanggung jawab bukannya bertanggung jawab, tetapi dibebankan kepada anak buahnya.

    Pengambil keputusan itu sendiri, selamat. Itu adalah sistem yang tidak singkron. Jadi kalau dikatakan memang, sistem kita belum betul. Ya salah satu contoh saja, kita memilih presiden. Konstitusi kita menyatakan bahwa, partai yang memilih presiden, tidak mengatakan bahwa partai yang sekian persen yang dapat boleh mencalonkan presiden.

    Konstitusi mengatakan, partai menyalonkan presiden. Tapi itukan sudah digugat ke MK?

    Artinya mekanisme Undang-undang itu kan sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah.  Artinya MK kan hanya berpendapat, betul konstitusi mengatakan begitu. Tapi Kalian (DPR-Pemerintah) kan sudah sepakat, tiba-tiba datang ke MK untuk membatalkan.

    Kita kan sistem open policy. Nah, tidak semua bisa diatur dengan UUD. Ada mekanisme manajemen pemerintahan. Kalian (DPR-Pemerintah) sebagai pengambil kepeutusan, sepakat dengan tresolt itu. Sekarang kalian (DPR-Pemerintah) yang datang untuk membatalkan.

    Jangan gitu. Kira-kira begitu, ini dianggap tidak fair. Bahwa kalian (DPR-Pemerintah) sudah memutuskan begitu, ya ubah sendirilah, di dewan. Tapi selalu kasus-kasus seperti RKUHP. Disahkan dulu saja, masalah nanti ada  keberatan, nanti bisa digugat ke MK. Yang cipta kerja dulu juga seperti itu.

    MK itu kan jadi benteng terkahir untuk produk hukum ini. Kalau seperti ini kan rakyat yang bingung?

    Di sini memang MK itu, diberi kewenagan menghadirkan para ahli. Sebetulnya yang mana dari undang-undang ini yang merugikan masyarakat, mana yang menguntungkan masyarakat. Terlepas dari pada itu, MK ini melihat kehidupan yang nyata. Jadi betul satu-satunya garda terakhir. Kita melihat sendiri juga pembuatan undang-undang ini, tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politik dan juga kepentingan-kepentingan ekonomi.

    Terus yang kita lihat sebagai masyarakat awam ini, masih terasa penegakan hukum ini masih tajam ke bawah tumpul ke atas?

    Kalau itu sejak zaman Nabi sudah begitu. Memang begitu hukum alam. Karena ya, orang yang berkuasa itu yang membuat aturan itu sendiri. Kalau sekarang dari segi teori demokrasi bahwa ini dibuat berdasarkan kesepakatan dengan rakyat. Tapi rakyat yang mana. DPR itu apakah mewakili rakyat. Betul sesuai mekanisme.

    Tapi, apa kepentingan kita diwakili, iya juga. Tapi apa iya memang begitu. Tapi ini kan masih banyak pertanyaan-pertanyaan. Makanya, kalau dikatakan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas, itu memang merupakan suatu ciri kekuasa itu sendiri. makanya hukumlah yang mencoba membatasi itu.

    Tapi perlu diingat juga, hukum itukan cuma alat. Hukum itu produk politik. Politik itu kan kekuasaan. Jadi kembali berputar disitu saja.

    Jadi tak ada solusi untuk hukum kita. Kita mengklaim kita negara hukum. Tapi benar tidak bahwa hukum sudah diberlakukan dengan baik. Kalan kalau tidak salah tujuan hukum itukan, kepastian, kemanfaatan, keadilan. Kalau pemberlakuannya lebih tajam ke masyarakat biasa yang di bawah, artinya tujuan hukum itu sendiri tidak berjalan.

    Rasa keadilan itu tidak berjalan?

    Ya hukum itu tetap berjalan. Tetapi dalam menegakkan hukum itu agar tetap berjalan, disana kan ada unsur pers, LSM, yang harus berteriak. Kalau tidak, kita tidak tahu ini sakit, ini teraniaya atau tidak, tidak akan tahu. Kalau memang semua fungsi -fungsi di masyarakat ini bersuara, bekerja. Disitulah fungsi-fungsi dari pers, LSM.

    Bahwa memang mengapa timbul pers, LSM, karena memang semua kekuasaan itu cenderung untuk melakukan sesuatu dengan pintu tertutup. Pers dan LSM yang membuka itu.

    Makanya sekarang dikatakan MK, tidak boleh ada kebijakan, peraturan, perundang-undangan tanpa mengikut sertakan, peran serta masyarakat itu adalah unsur yang terpenting. Jadi disitulah penegakan hukum itu , tidak bisa kita serahkan kepada polisi, hakim, jaksa dan pengacara saja. Ini semuanya adalah bagian-bagian dariyang dapat menyelewengkan hukum itu sendiri. Makanya ada unsur Pers, LSM, masyarakat.

    Artinya inilah memang tujuannya adanya Pers, LSM supaya untuk mengawasi?

    Memang secara alamiah memang begitu. Di dunia mana pun memang harus ada yang bersuara, berteriak. Siapa yang berteriak itu? makanya pilar demokrasi kelima itu pers. Ini yang harus selalu diberdayakan. Kalau misalnya Advokat, yang mana dulu.

    Jadi kita tidak bisa hanya menyerahkan kepada yang formal-formal seperti itu. Tapi, hukum juga mengakui unsur-unsur lain dalam menegakkan hukum. Kalau segi regulasi penegak hukum itu hakim, polisi, jaksa, pengacara , itu kalau formal. Kita semua sama-sama menegakkan hukum.

    Tapi kan kalau masyarakat awam, itu belajarnya kan kalau lagi ada kasus. Satu contoh kasus Irjen Sambo. Sidangnya itu kan masayarakat mengikuti jalannya persidangan. Inikan salah satu bentuk belajar hukum juga. Karena kita tahu kalau nyangkut hukum itu sudah takut. Kepolisi sudah takut duluan. Jadi bagaimana kita mengawasi seperti yang bapak bilang kita sama-sama menegakkan hukum itu?

    Tapi artinya hukum itu tetap tegak. Contoh, kasus Irjen Sambo. Ini ajaib. Hanya karena untuk memasang ulos tidak diperbolehkan, jadi bersuara. Teriak. Ini bukan karena polisi, atau pengacara awalnya itu. Kok anak saya saya tidak bisa pakai ulos.

    Karena secara adat ini tidak bisa dikubur kalau tidak pakai ulos. artinya hukum tegak itu tidak harus dengan penegak hukum. Justru, penegak hukum itu bisa menjadi bagian dari masalah hukum itu sendiri. Ini buktinya. Oleh karena itu, jangan percaya kepada formalitas semata. Hati nurani itu, tetap jalan. Buktinya itu tadi.

    Tidak akan terbongkar kalau tidak karena ingin memasang ulos. Seandainya tidak dilarang itu pemasangan ulos secara adat, mungkit kasus ini tidak terbongkar. Jadi struktur adat itu, setiap kebijakan lokal itu kebiasaan di masyarakat itu juga bagian dari hukum. Dan hukum itu, kalau ada yang menyelewengkan, pasti ada saja yang membuat terbuka. Tidak selalu harus penegak hukum.

    Contohnya, timbulnya adanya KPK itu kan karena itu. Karena ketidak kepercayaan terhadap penegak hukum lainnya. Maka dibuatlah ekstra. Secara alamiah hukum itu seperti itu. Seperti saya, jangan menngaggap semua apa yang saya lakukan lalu, tidak bisa disoroti masyarakat. Bisa saja saya salah.

    Tapi dengan kasus contohnya tadi, Irjen Sambo, kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu luntur juga. Menurut Anda, soal orangnya atau oknumnya, undang-undangannya sudah bagus. Sistemnya atau orangnya?

    Kalau menurut saya selaku yang sudah mengalami menjalani penegakan hukum itu sendiri, dua-duanya memang masih bermasalah. Dan itu akan selalu. Di negara maju sendiri pun akan seperti itu. apalagi negara yang baru bertransformasi. Dua-duanya mengambil peran. Makanya lambang hukum itu dibuat timbangan yang seimbang.

    Contoh lain, Bagaimana dengan undang-undangan omnibus law, Apakah menguntungkan pengusaha atau siapa?

    Sebetulnya, sistem omnibus itu kan, kita paksakan kita adop. Kita laksanakan. Karena kita semua sadar. Bahawa perwaturan perundang-undangan ini sudah tidak bisa lagi diperbaiki, dengan cara mekanisme yang normal. Ini harus ada suatu terobosan untuk melakukan harmonisasi dan penyelarasan. Itu dulu. Jadi bukan soal untung-untungan.

    Tapi apakah memang penting omnibus itu?

    Kita sadar tidak. Semua menyadari, kalau kita tanya mulai dari kelurahan, masyarakat, perangkat desa sampai presiden menyatakan, semua alasan pakai aturan. Setelah ditelusuri, memang ada tumpang tindih. Dan memang terlalu banyak, aturan itu, saling sekarut. Itu dulu, sepakat tidak kita menyatakan adanya hal ini. Begitu sepakat, disitu, baru bermain. yang mana bisa diatur, karena tidak bisa seluruhnya diatur.

    Makanya, dulu kan ada hampir 80 undang-undang, tapi akhirnya dikurangi hanya 78 undang-undang yang ditampung. Kan omnibus, dimasukkan dalam satu gerbong untuk diubah. Tadinya sudah menyepakati ini salah satu cara untuk mengubah. Di dalam pelaksanaannya ditunjuklah Mentrikoordinator Bidang Perkonomian.

    Disini mulai tendensi, kok ekonomi? Karena kita mulai memikirkan masalah investasi, ini dan itulah. Kok jadi investasi, disinimulai kelihatan. Tapi, biasalah. Tidak bisa langsung. Dirombaklah. Disini baru kelihatan, sadar atau tidak kepentingan itu menjadi nampak. Didahulukan kepentingan ekonomi, investasi. Kita harus akui, dong.

    Setelah dipimpin Menko perekonomian, kita harus membuka peluang investasi. Tapi inikan baru ronde pertama, yang maksudnya akan dibuat omnibus-omnibus yang lain. Begitu disahkan, ini yang teriak pertama, ya buruh. Bukan penegak hukum. Buruhnya yang memberikan kuasa kepada penegak hukum. Pertanyaannya adalah, dari sisi mana melihatnya. Dan memang dilihat oleh MK. Dan MK kan belum melihat isinya. Begitu diajukan, ini membuatnya (omnibus law) dasarnya dari mana? Ini pakai teori dari mana? lihat Undang-undangn nomor 12 tahun 2011. Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Loh, kok ini tidak dikenal, cara membuat undang-undangan omnibus ini. Jadi ini tidak sah. Jadi dibuatlah putusan. Ini tidak sah. Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tapi disadari, karena ini sudah melahirkan peraturan PP, pelaksanaan ada kalau tidak salah 70 PP. Termasuk PP yang mengatur mengenai Batam. PP 41. Kan sudah ada. Nanti kalau langsung dibatalkan, ini kacau.

    Makanya, perbaikilah formilnya. tatacara pembuatannya dalam 2,5 tahun. Kalau tidak diperbaiki, secara permanen tidak sah. Maka, diperbikilah undang-undang nomor 12 tahun 2011. Dimasukkan lah disitu, tatacara omnibus law. Terbitlah undang-undangan nomor 13 tahun 2022.Sebetulnya sudah sudah ada dsaarnya. Karena subtansi dari UUCK (undang-undang Cipta Kerja) itu tidak utak-utik oleh MK. Cuma formilnya saja.

    Artinya subtansinya tidak bermasalah?

    Bukan tidak bermasalah. MK tidak melihat itu. Nanti dulu. Banyak yang mengajukan gugatakan. Tapi MK belum memeriksa itu (subtansinya). Ini cara membuatnya saja belum betul. Jadi untuk apa diperiksa itu. Tapi permasalahnya kenapa kok sudah diterapkan? UUCK tadi, dinyatakan MK cacat formal. Tapi kenapa mestinya nunggu perbaikan selama 2,5 tahun.

    Tetapi kenapa sudah dilaksanakan diterapkan?

    Karena MK tidak membatalkan. Begini, kalau sudah cacat formal berarti produk ini sudah gagal. Secara formalitas saja cacat. Mestinya tidak bisa diberlakukan?

    Tapi para dewa hukum kita itu, dewa konstitusi kita tidak berkata demikian. Bahwa, undang-udnanga itu tetap berlaku. Tapi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sepanjang tidak dimaknai. Tidak diperbaiki dalam tempo 2,5 tahun. artinya, apa kebijakan yang sudah dijalankan berdasarkan undang-undang itu tidak bisa dong dicabut. Tapi sesudah ini, jangan lagi terbit peraturan. Setelah putusan ini, jangan lagi terbut peraturan pelaksanaan, seperti PPnya, keputusan mentri, turunan.

    Contoh di Batam PP 41. tetap berlaku. Itu buktinya di pelayanan terpadu satu pintu sudah jalan. Tapi, Kepres pasal 6 PP21 itu menyatakan, stuktur dewan kawasan Batam, Bintan dan Karimun diterbitkan paling lama sekian waktu, setelah PP. Itu tak keluar keluar sampai sekarang, karena tidak boleh. Makanya gantung. Makanya, dewan kawasan saat inikan, dewan kawasan yang diangkat tahun 2016. Lewatnya itu tahun 2021. Lewat sudah, tapi tidak bisa dikeluarkan Kepress, Akhirnya tetap saja, Dewan kawasannya itu.

    Berarti tidak melanggar hukum?

    Jadi begini. Ada azas di dalam hukum ketatanegaraan kita. Pemerintahaan ini tidak boleh berhenti, karena tidak ada aturan. Tetap jalan. Nah, kecuali ada orang yang dirugikan. silahkan tuntut apa kerugiannya. Jadi menuntut suatu peraturan, apa kerugiannya. Makanya menggugat ke MK, syaratnya satu apa kerugian konsitusionalitas kita. Itu dulu, buktikan. Sama dengan dengan PP 41 bertentangan dengan undang-undangan yang lebih tinggi. Oke. Kalau bertentangan kenapa? Contoh lagi PP 62 tahun 2019 menerapkan walikota menjadi kepala BP. Bertentangan dengan undang-undang nomro 23 tahun 2018 tentang pemerintah daerah yang tidak boleh merangkap jabatan.

    Bertentangan. Pertanyaannya, kenapa kalau bertentangan? Rugi kita apa? pemerintah yang mengatur dan menjalankan negara ini. Kalau nunggu harus ini selaras semua, lalu tidak boleh menjalankan pemerintahan ini? Tidak boleh. Kalau rugi bilang, gugat ke MK. Sampai sekarang buktinya, tidak ada yang menggugat.

    Kan ada mekanismenya. kalau peraturan yang bertetangan dengan undang-undang mengunggatnya ke MA. Pertanyaannya, siapa diantaranya yang mengatakan tidak boleh eksofficio tapi yang menuntut siapa.

    Tapi bisa dituntut, tapi harus tahu kerugiannya. Ini yang harus disampaikan?

    Iya. Betul. Kamu siapa dulu? lalu apa kerugiannmu? masalah hukumnya dimana? Begitu.

    Jadi tidak boleh pokoknya. Berarti apapun keputusannnya meskipun itu tadi belum harmoni, putusannya tetap mengikat?

    Iya tetap mengikat dan dilaksanakan. Karena ini masuk soal anggaran. Contoh kalau seorang pejabat dianggap melakukan pelanggaran, ini sudah mengeluarkan anggaran, makanya dia melawan hukum? Jadi kalau ini (UUCK) dibatalkan, dibatalkan dengan syarat. Jadi kalau syaratnya dipenuhi, jadi tidak jadi batal. Batal, kalau tidak diperbaiki. Buktinya kan diperbaiki. Kalau ada keberatan lagi terhadap yang lain, silahkan. Tapi sejauh ini, dinyatakan oleh MK, batal dengan syarat, kalau tidak diperbaiki selama 2,5 tahun.

    Kalau tidak maka batal secara permanen. Makanya PP 41 tetap jalan di Batam. Sebagian, tapi yang menyangkut sebagian perundang-undangan, atau keputusan yang bersifat strategis itu tidak boleh. Makanya struktur dewan kawasan Batam, Bintan dan Karimun, karena sudah disatukan di PP 41. Kalau itu disatukan, seandainya muncul struktu dewan kawasan ini, makan akan dewan kawasan akan mengevaluasi apakah efektif dan efiseien, BP Batam, BP Bintan, BP Karimun disatukan atau bagaimana. Ini tidak boleh, belum bisa.

    Kalau yang ex offisio itu, saat ini tidak masalah?

    Ya masalah. Makanya banyak yang teriak. Tapi masalahnya dimana, orang tidak bilang. Hanya bilang bertentangan. Tapi, kenapa kalau memang bertentangan? Buktinya, nyaman. Artinya ada manfaatnya kan?

    Tapi ada juga yang menyampaikan bahwa ex offiso ini tidak nyaman?

    Loh kalau itu pasti. Gimana, dari segi formalnya saja menjadi Walikota itu 24 jam. Makanya tidak boleh merangkap jabatan. Tapi, presiden itu dulunya walikota. Jadi bagaiaman caranya menyelesaikan (dualisme) di Batam. Memang betul bertentangan dengan undang-undangan. Tapi presiden itu, kepala pemerintahan tertinggi.

    DPR mengatakan tidak boleh bertentangan, ombusmen mengatakan tidak boleh bertentangan. Tapi, presiden menjalankan. Bicara soal teori, tapi ini (dualisme di Batam) berantam terus. Jalankan ini (ex ffisio). Jadi tidak ada suatu kebijakan yang semuanya nyaman. Yang ada cuma di surga. Itu pasti.

    Jadi kalau semua sasaran itu, Rudi dianggap menyalah gunakan untuk pencitraan, itu wajar. Undang-undang tidak melarang.

    Tidak melanggar?

    Tidak melanggar. Dan sekali punmelanggar, peraturan membuat legalisme tentang itu. Membolehkan. Karena? misalnya melakukan pencitraan di BP. yang jelas dia sekarang sekaligus Kepal dan Walikota. Kalau memang ada yang melanggar ya dibuktikan. Ini masalah pembuktian.

    Anda orang yang sudah lama di Batam. Sudah tahu mendalam masalah BP dan Pemko. Penyatuan ini, lebih bagus atau lebih efesien atau seperti apa?

    Tidak lebih bagus. Tidak lebih efisein. Tapi obatnya apa kalau tidak itu. Presiden juga tidak mengatakan ini obatnya. Tidak juga mengatakan ini solusi. Kalau bukan ini (ex offsio) lalu apa? Kalau bukan ini, salah satu harus bubar. Karena di satu daerah tidak boleh ada dua pimpinan. Dua matahari. Ini kewenangan pusat. Di daerah sudah mengatakan, UUD mengatakan, NKRI dibagi atas daerah perovinsi kabupaten/kota. Kawasan ada di dimana? di daerah, di daerah mana?

    Kalau seperti itu, apakah BP Batam masih diperlukan?

    Loh, buktinya PP62 PP46, menyatakan tetap sah. Artinya secara formal legalistik dibutuhkan. anggarannya Rp3 T loh. Bukannya BP ini juga bisa bubar, kalau tidak dibutuhkan. Kalau masih dibutuhkan makanya masih ada?

    Siapa sekarang yang mengatakan itu (BP) tidak dibutuhkan. Cuma di Batam ini kepentingannya banyak. Ini melanggar konstitusi. Iya, tapi maunya apa? Nah, membubarkan itu juga tidak mudah. Karena disini aset pusat di Batam itu, sudah triliunan. Itu dari APBN. Sekarang kalau dibubarkan, ini aset kemana. Dimutasikan ke pemko? Gimana caranya, dari mana anggarannnya (Pemko) untuk mengelola aset yang begitu besar ini. Untuk mengelola anggaran aset pusat di Batam saja, setiap tahun DPR menyetujui Rp3 T. Kalau dialihkan ke Pemko, terus mau seperti apa. tidak segampang itu.

    Tapi nanti, takutnya kalau sudah tidak ada Exoffsio, pejabat daerah tidak menjabat juga kepala BP Batam, apakah tidak terjadi lagi dua lisme lagi? Ini bisa disatukan sekarang karena ada obat tadi?

    Persoalan itu selalu ada. Mau ada exoffsio, mau pun tidak. Tapi, sebetulnya kalau disimak itu PP41 tahun 2021, sebetulnya disitu sudah ada kerangka untuk menganulis exoffsio itu. Cuma tadi, pasal 6 pp41 belum terlaksana. Struktur Dewan Kawasan belum bisa dibentuk. Karena dewan kawasnanya saja sudah satu. Di dalam pasal 75, 74 coba nanti bisa dipelajari: Dewan kawasan yang dibentuk berdasarkan pasal 6 tadi, struktur akan mengevaluasi BP ini untuk disatukan atua tidak. Kalau dewan kawasannya sudah satu, maka Bp bisa juga disatukan. Apa sih tugas BP itu?

    Dalam undang-undangn tugas BP cuma satu mengatur lalulintas barang dari dan ke… Cuma barang doang.

    Tapi dengan lahan?

    Itukan tugas Otorita (OB) dulu. Jadi disini beralih berdasarkan PP 46. Beralih mennjadi BP Batam. Makanya BP di Indonesia ini, tidak ada seperti Bp Batam ini. Ini jadi juragan tanah. Apa payung hukumnya, hingga lahan itu masih ditangan BP Batam?

    Nah, ini memang ya karena dari awal pembentukan pengembangan Batam sudah bermasalah. Jadi dimana-mana hal pengelolaan itu, di Indonesia., tidak ada seperti ini. Dulu kan masih zaman Suharto. Makanya, sebetulnya. gimana ya. Makanya, Bp Batam tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah lahan di Batam ini. Supaya tuntas gimana? Nanti kita diskusikan lain waktu.

    Pengembangan Batam ini kan ada di bawah presiden. Intinya Batam ini sangat tergantung kepada pusat. Jadi cerita Batam ini memang belum selesai. Kita ikuti saja tahap ini. Kita diskusikan lagi setelah 2024.***