Penanganan Covid-19 Perlu Lebih Inovatif dan Tidak Perlu Paranoia

    spot_img

    Baca juga

    Empat Penghuni Hotel Melati di Jodoh- Nagoya Diangkut Polisi

    BATAM, POSMETRO: Diduga kerap dijadikan sebagai tempat penyalahgunaan narkotika,...

    Batam Jadi Pilot Project Pemasangan Jaringan Gas

    BATAM, POSMETRO: Kabar gembira, Pemerintah Pusat melalui Kementerian ESDM...

    200 Warga Batam Mulai Mudik Gratis ke Jakarta Naik KM Kelud 

    BATAM, POSMETRO.CO : Sedikitnya 200 peserta mudik gratis Program...
    spot_img

    Share

    Posmetro.co, Jakarta: Belum surutnya aturan pembatasan membuat masyarakat makin tertekan terutama dari sisi ekonomi. Terbaru, pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Mendagri Nomor 440/7183/SJ tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Varian Omicron serta Penegakan Penggunaan Aplikasi PeduliLindungi.

    Kebijakan ini disorot oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP PKS, Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, semestinya pembatasan mobilitas bukan lagi jadi pilihan lantaran hanya membuat ekonomi masyarakat kembali terpuruk.

    “Persoalan pembatasan menjadi isu penting sebab pada kenyataanya aktivitas bisnis yang akan terdampak dari kebijakan ini adalah aktivitas UMKM,” kata Farouk Alwyni, di Jakarta Jumat (31/12/2021).

    Padahal, menurut Farouk, sebanyak 61,1 persen pembentuk produk domestik bruto adalah kontribusi UMKM, dan UMKM menyerap 97 persen dari tenaga kerja nasional. Tekanan terhadapnya berdampak signifikan dan menciptakan efek domino bagi perekonomian. Jika tidak diberi keleluasaan, praktis UMKM akan makin terpuruk, dan pada akhirnya perekonomian nasional akan sulit pulih.

    Farouk mengatakan, jika pemerintah mampu bekerja lebih tenang, aturan-aturan pembatasan paranoid sebagaimana termaktub dalam SE Mendagri sebetulnya bisa diganti dengan aturan yang lebih peka terhadap sisi sosial-ekonomi masyarakat tanpa harus mempertaruhkan sisi kesehatan.

    “Banyak contoh penanganan Covid-19 yang bisa proporsional tanpa pembatasan yang terkesan paranoid. Di Florida, AS, diterapkan kebijakan yang dikenal dengan Early Treatment Saves Lives dan Protect the Jobs. Dua kebijakan ini saling seiring. Satu sisi pemerintah mampu memberi penanganan dini bagi masyarakat yang membutuhkan. Di sisi lain mampu menjaga aktivitas bisnis tetap berjalan agar tidak terjadi PHK,” ungkap alumnus MA bidang ekonomi New York University ini.

    Farouk menjelaskan, Florida baru-baru ini masuk jadi negara bagian di AS yang berhasil baik menangani Covid-19 baik dari dari perspektif jumlah kasus, hospitalisasi, maupun kematian. Sebagai catatan, Florida sendiri bahkan tidak menerapkan lockdown, kewajiban masker, maupun vaksinasi. Bahkan, Gubernur Florida Ron DeSantis termasuk satu penentang keras kebijakan vaccine mandate yang diterapkan oleh Presiden Joe Biden, mandate yang juga menghadapi berbagai perlawanan dari Gubernur-Gubernur dan para Senat Partai Republik. Florida juga adalah salah satu negara bagian di AS yang melarang penerapan vaccine passport (semacam PeduliLindungi di Indonesia), mayoritas negara bagian di AS tidak menerapkan vaccine passport.

    “Selain Florida, Jepang juga bisa dijadikan model negara terbaik dalam mengombinasikan antara kebijakan vaksinasi dan personal liberty. Penanganan pandemi di sana bisa berjalan baik dengan kebijakan vaksinasi sukarela (voluntary vaccination) tanpa harus pemerintahnya merampas hak-hak sipil, sosial, dan ekonomi rakyat, Jepang bahkan menyediakan dana khusus secara transparan bagi para korban efek samping parah dari vaksin,” jelas Farouk.

    Menurut Farouk, pemerintah Indonesia mestinya dapat mengambil referensi-referensi yang lebih inovatif dalam menyeimbangkan kebijakan kesehatan, ekonomi, dan personal liberty. Ketimbang menjalankan kebijakan “gebyah uyah” dalam penangan Covid-19 yang counterproductive dan berdampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi rakyat, ada baiknya pemerintah memperkuat sistem yang dapat memberi perawatan dini saat ditemukan kasus positif, khususnya bagi kasus yang bergejala.

    Paranoia menghadapi persoalan Covid-19 justru hanya akan membawa kerugian lebih besar bagi masyarakat banyak. Apalagi jika dilihat secara angka, di Indonesia tingkat kesembuhan akibat Covid-19 adalah tinggi mencapai 96,5 persen. Sementara tingkat kematian 3,38 persen pun sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti penyakit bawaan yang dimiliki pasien, kemungkinan perawatan yang tidak memadai, ataupun yang disebut dengan incidental cases, yakni seseorang yang kenyataannya mempunyai sebab lain ketika meninggal tetapi kebetulan di tes positif sebelumnya.

    “Artinya, virus ini memang harus diwaspadai secara proporsional dan tak perlu berlebihan. Tingkat kesembuhan masyarakat masih sangat tinggi. Terkait varian baru omicron sekalipun ternyata telah dideteksi lebih lunak ketimbang varian sebelumnya (delta), hal ini diakui sendiri oleh penemu virus asal Afrika Selatan ini, nyatanya tingkat hospitalisasi dan kematian sangat kecil dibandingkan delta,” kata Farouk Alwyni.

    Di sisi lain, menurut Farouk, pemerintah juga perlu untuk memperhatikan dinamika isu vaksin internasional.

    “Dalam studi-studi terbaru, banyak ditemukan bahwa imunitas natural yang didapatkan dari terkena covid-19 sebenarnya ternyata jauh lebih protective ketimbang imunitas yang didapat dari vaksinasi. Bahkan omicron sekarang ini disebutkan bisa berkontribusi terhadap herd immunity, mengingat transmisibilitasnya yang cepat tetapi dampaknya yang ringan, seperti halnya flu biasa,” imbuh Farouk.

    “Pada akhirnya persoalan Covid-19 dari pelajaran selama hampir dua tahun ini adalah persoalan imunitas seseorang, dan vaksin bukan satu-satunya cara meraih imunitas. Banyak hal lain bisa dilakukan. Dari level individu, banyak faktor yang memengaruhi daya tahan tubuh atau imunitas seseorang, mulai dari diet sehat, olahraga teratur, istirahat cukup, sampai dengan menjaga pola pikir positif, sebaiknya pemerintah juga gencarkan kampanye-kampanye kesehatan terkait hal ini,” tutup Farouk.
    (fri)