POSMETRO.CO Nasional Daerah

Diprediksi Maskapai Nasional Garuda Indonesia Tak Mampu Bertahan Lebih Lama

posmetro.co — Jakarta: Persoalan Garuda Indonesia
International Air Transport Association (IATA) memprediksi industri penerbangan dunia akan pulih pada 2024. Di dalam negeri, banyak kekhawatiran bahwa Garuda Indonesia, maskapai yang sejak tahun 1949 telah menjadi flag carrier merah-putih, tak akan mampu bertahan hidup lebih lama lantaran berbagai masalah yang membelitnya.

Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP Partai Keadilan Sejahtera Farouk Abdullah Alwyni menjelaskan, kecilnya peluang Garuda untuk bangkit dapat dilihat dari systemic corruption dan incompetent management yang sudah mengakar sejak lama.

Satu contoh adalah pernyataan dari Kementerian BUMN sendiri bahwa biaya sewa pesawat dibandingkan pendapatannya adalah 4x lebih besar dari rata-rata global. Menurut pengakuan salah satu eks komisarisnya Garuda juga harus membayar kredit yang tinggi terhadap para lessor-nya.
Dampak pandemi Covid-19 pada esensinya hanya sekedar mengekspose persoalan yang memang sudah terakumulasi dalam waktu yang lama ada dan mengantar Garuda pada titik terendah.

“Pada tahun 2020, pendapatan bulanan Garuda merosot 70 persen selama corona mewabah. Dimana pada saat tersebut Garuda sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan operasionalnya yang setiap bulannya bisa mencapai US$ 150 juta, sedangkan pendapatan Garuda bahkan pernah hanya mencapai US$ 27 juta,” ujar Farouk Abdullah Alwyni di Jakarta Senin (22/11/2021).

“Secara teknis Garuda sudah bangkrut sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah. Langit tak lagi membawa untung bagi mereka. Ini dapat dilihat dari utangnya yang berjumlah US$ 9,75 miliar [atau sekitar Rp140 triliun], melebihi jumlah asetnya yang sebesar US$ 6,92 miliar,” ungkap Farouk Alwyni.

“Hal ini menyebabkan ekuitas atau modal Garuda, lanjut Farouk Alwyni, menjadi minus US$ 2,8 miliar atau sekitar Rp. 39,7 triliun. “Diakui oleh pemerintah sendiri, ekuitas negatif ini menjadi rekor baru mengalahkan Jiwasraya,” imbuhnya.

“Kebangkrutan teknis yang dialami Garuda ini mempengaruhi banyak hal, termasuk di antaranya pengurangan armada dan jumlah rute penerbangan.
Tahun depan Garuda hanya akan menerbangkan 134 unit berbanding 202 unit pesawat pada tahun 2019. Dari segi rute, Garuda juga memangkas dari semula 237 rute menjadi hanya 140 rute,” paparnya.

Menurut Farouk Alwyni, pada dasarnya pemerintah harus ikut bertanggung jawab dengan kondisi Garuda yang secara tehnis telah bangkrut, sekurang-kurangnya lantaran status pemerintah sebagai pemilik saham terbesar dari emiten berkode GIAA ini.

“Pemerintah adalah pihak yang selama ini mengangkat dan memberhentikan Direksi ataupun Komisaris. Pemerintah jugalah yang menyetujui ekspansi armada,” jelasnya.

Farouk Alwyni mengatakan, persoalan Garuda adalah dilema besar bagi Indonesia, disatu sisi akumulasi persoalan tata kelola yang begitu lama, menjadikan perusahaan ini menjadi ladang korupsi, maka dibiarkan bangkrut adalah satu opsi natural, tetapi disisi lain, jika tidak diselamatkan, ada kekhawatiran bahwa masalah yang membelit Garuda bisa merembet ke perusahaan-perusahaan lainnya, belum lagi persoalan massive layoff yang akan terjadi.

“Dampak sistemik harus diwaspadai. Garuda memiliki utang terhadap paling tidak dua bank BUMN yakni BNI sebesar Rp. 5,2 triliun dan BRI Rp. 5,97 triliun per September 2021. Ada pula Mandiri yang belum diketahui angkanya. Seperti virus, sakitnya Garuda bisa menular kepada perusahaan lain yang sehat,” kata Farouk Alwyni.

Selain itu, Farouk melanjutkan, perlu diperhitungkan juga bagaimana dampak yang akan dialami perusahaan plat merah lainnya seperti PT. Pertamina yang selama ini menyediakan bahan bakar avtur untuk Garuda, hingga PT. Angkasa Pura yang menyediakan jasa ground handling unit pesawat.

Untuk itu Farouk Alwyni mendesak agar pemerintah lebih serius mencari solusi terbaik. “Jangan sampai ada langkah sembrono yang justru membuat Garuda jatuh menukik dan tumpas berkalang tanah,” katanya.

“Maka sebagaimana dilakukan pemerintah di banyak negara lain, pemerintah Indonesia harus juga mampu memetakan persoalan yang tepat agar solusinya juga dapat tepat. Pemetaan itu harus mampu menghitung risiko apa saja yang muncul jika suatu keputusan diambil,” lanjutnya.

Lebih dalam lagi menurut Farouk Alwyni, pencarian solusi atas persoalan Garuda harus didahului langkah pembenahan manajemen perusahaan.
Menurutnya, perusahaan yang sehat berawal dari tata kelola yang baik (good corporate governance), namun sayangnya Garuda tidak memiliki prasyarat tersebut.

“Garuda punya masalah dengan prinsip good corporate governance. Hal ini harus segera dibenahi mengingat ia adalah prinsip dasar yang menunjang performa sebuah perusahaan,” kata Farouk Alwyni.

“Lebih-lebih saat ini Garuda sedang bernegosiasi meyakinkan para lessor dan pemilik piutang untuk mau merestrukturisasi tunggakan dari US$9,75 miliar menjadi US$3,69 miliar. Para lessor tentu akan menilai seberapa jauh prinsip good corporate governance dijalankan oleh manajemen Garuda. Jika di sisi ini manajemen Garuda gagal perform, agak mustahil proposal restrukturisasi Garuda diterima,” pungkas Farouk Alwyni.
(fri)