Perlu Restorasi Hak Kesehatan, Ekonomi, dan Sosial Rakyat di Era “Living with Covid -19”

    spot_img

    Baca juga

    BP Batam Peduli, Ribuan Paket Sembako dan Santunan Anak Yatim Disalurkan

    BATAM, POSMETRO: Sucinya bulan Ramadhan 1445 H/2024 M menjadi...

    Gubernur Buka Puasa Bersama Para Pimpinan OPD, FKPD dan Instansi Vertikal Kepri

    KEPRI, POSMETRO: Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau menggelar acara berbuka...

    Ansar Serukan Istiqomah di Penghujung Ramadan dan Muliakan Al-Qur’an

    KEPRI, POSMETRO: Gubernur Kepulauan Riau H. Ansar Ahmad melanjutkan...
    spot_img

    Share

    Jakarta, Posmetro.co: Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan, DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni menyatakan, bahwa selama pemberlakuan PSBB maupun PPKM, banyak aktivitas ekonomi terpukul, mobilitas masyarakat terhenti, belum lagi dampak sosial psikologis, dan yang terkena hantaman paling berat adalah kelompok rentan.

    Padahal, sekitar 70% masyarakat Indonesia diperkirakan masih masuk kelompok rentan ini, kelompok ini adalah kelompok yang belum menjadi kelas menengah, yang setiap saat bisa kembali hidup dibawah garis kemiskinan.

    Alih-alih memperbaiki keadaan, kata Farouk, kebijakan sertifikat vaksin yang datang belakangan justru dapat memperpanjang realitas keterpurukan itu. Berlakunya kebijakan sertifikasi vaksin menandakan pemerintah tidak betul-betul mempelajari dampak berat masa-masa pembatasan seperti PSBB dan PPKM darurat terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

    “Kami melihat bahwa penggunaan kebijakan sertifikat vaksin untuk membuka aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat pada esensinya adalah bersifat diskriminatif, padahal vaksin hanyalah salah satu upaya untuk menangani pandemik Covid-19. Terlebih lagi vaksin-vaksin yang ada sekarang ini tidak bisa menjamin seseorang tidak terkena dan menularkan Covid-19. Lebih dari itu, daya lindung vaksin-vaksin yang adapun ternyata cenderung menurun dengan perjalanan waktu. “Alasan yang sering diungkapkan adalah bahwa vaksin dapat mencegah keparahan dan kematian seseorang jika terkena Covid-19. Tetapi pendapat ini mulai mendapatkan tantangan dari fakta-fakta yang terjadi dilapangan seperti di Amerika Serikat, Belgia, Inggris, Israel, Portugal, maupun Singapura. Semuanya akhirnya kembali kepada kondisi kesehatan seseorang sebelum terkena Covid-19,” ujar Farouk mantan Caleg Dapil DKI II PKS ini pada reporter di Jakarta Jumat (22/10/2021).

    “Studi terbaru yang dipublikasikan oleh European Journal of Epidemiology dengan judul Increases in COVID-19 are unrelated to levels of vaccination across 68 countries and 2947 counties in the United States (Subramanian & Kumar, 2021) juga menunjukkan ketiadaan korelasi antara persentase penduduk yang telah tervaksin dosis penuh dan kemunculan kasus-kasus Covid-19. Studi justru menemukan ada sebuah hubungan positif marginal antara negara-negara yang mempunyai prosentase tinggi vaksinasi dosis penuh dengan peningkatan kasus Covid-19, juga tidak ditemukan fakta bahwa peningkatan prosentasi vaksinasi dengan penurunan kasus-kasus Covid-19,” papar alumnus program MBA Universitas Birmingham Inggris tersebut.

    “Cukup aneh bahwa COVID-19 yang awalnya adalah persoalan kesehatan tiba-tiba bergeser menjadi persoalan legalitas tertulis/elektronik. Akibat dari berlakunya sertifikasi ini banyak aktivitas masyarakat tidak kunjung efektif bergerak, terutama aktivitas ekonomi, yang mana sudah setahun lebih terpuruk,” kata Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tersebut.

    Menurut Farouk, ada kecenderungan pemerintah hanya memandang persoalan kesehatan semata dari aspek formalitasnya, seperti vaksinasi yang harus dibuktikan dalam bentuk sertifikat, hal ini semestinya tak dijadikan model untuk memulai kebiasaan baru dimasa pandemi. “Persoalan kesehatan adalah lebih dari sekedar persoalan vaksinasi, hal ini terkait pola makan yang sehat, olahraga yang teratur, istirahat/tidur yang cukup, dan menjaga pola fikir positif, vaksinasi hanyalah salah satu aspek saja bagi yang membutuhkan, dan itu tetap harus bersifat voluntary,” jelas Farouk.

    “Vaksinasi yang dipaksakan dengan berbagai cara, seperti dengan penerapan kebijakan sertifikat vaksin, justru dapat melanggar hak otonomi kesehatan rakyat yang diatur dalam Pasal 5 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hak mendapatkan bantuan saat terjadi wabah yang diatur oleh Pasal 8 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, hak kebebasan perjalanan domestik (darat, laut, dan udara) yang diatur oleh Pasal 41 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan lebih jauh lagi tentunya Pasal 27 ayat 2 UUD 45 terkait Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan dan Sila kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” urai Farouk.

    “Ditambah lagi belum semua yang sudah divaksin itu otomatis mengantongi sertifikat, mengingat aplikasi penampil sertifikatnya, PeduliLindungi, masih mengandung banyak masalah. Ada orang tervaksin tetapi datanya belum masuk, customer service yang buruk untuk dihubungi, dan lain sebagainya termasuk potensi kebocoran data masyarakat yang tinggi. Juga masih banyak anggota masyarakat yang tidak memiliki smartphone. Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian pemerintah,” katanya.

    Jika kebijakan sertifikat vaksin ini diteruskan, kata Farouk, pemerintah terkesan melakukan pengambilan hak-hak kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat yang tak memiliki dokumen digital. “Jangan sampai masyarakat yang sudah memiliki kemampuan untuk kembali beraktivitas normal justru kehilangan kebebasan dan kesempatan sosial ekonomi hanya karena sebuah formalitas yang tidak tepat,” kata Farouk.

    Farouk juga menguraikan bahwa fakta-fakta telah menunjukkan bahwa sekitar 97% dari orang yang tersintas Covid-19 di Indonesia sembuh, kalau diteliti lebih jauh banyak juga faktor lain non Covid-19 yang kemungkinan mempengaruhi kematian yang 3% itu, seperti kondisi kesehatan sebelum Covid-19, kapasitas infrastuktur kesehatan yang lemah, serta kemungkinan praktek-praktek kurang baik yang disinyalir terjadi dilapangan (di-Covid-kan).

    “Dewasa ini pemerintah sudah harus siap untuk memasuki sebuah era yang disebut dengan Living with Covid-19”, tukas Farouk. Untuk itu Farouk menambahkan bahwa penting merestorasi hak-hak kesehatan, ekonomi, dan sosial rakyat, persoalan Indonesia adalah tidak sekedar Covid-19, perlu keseimbangan antara pemenuhan obyektif kesehatan, ekonomi, dan sosial. Penanganan Covid-19 hendaknya difokuskan hanya untuk mencegah sakit-sakit berat dan kematian.

    “Karena pada esensinya kesehatan dan ekonomi tidak terpisahkan. Ketika kesehatan bermasalah, maka akan berdampak negatif untuk ekonomi. Sebaliknya jika persoalan ekonomi bermasalah maka akan berdampak negatif juga untuk kesehatan masyarakat,” tegas jebolan New York University ini.

    “Sebenarnya dengan mempertimbangkan kondisi mutasi virus yang ada sekarang ini, yang lebih penting lagi justru penerapan 5M secara konsisten. Jika itu dilaksanakan secara disiplin untuk sementara waktu, maka sesungguhnya tidak ada kebutuhan untuk penerapan sertifikat vaksin, selain itu yang penting adalah pemerintah tetap memastikan ketersediaan vaksin disegenap pelosok negeri bagi yang membutuhkan untuk mencegah ketimpangan antar daerah,” lanjut Farouk.

    “Kita harus bedakan antara menjalankan kebijakan vaksinasi dengan sertifikat vaksin, yang pertama adalah bagian dari program kesehatan yang kamipun di PKS banyak memfasilitasinya di berbagai daerah, tetapi yang kedua adalah kebijakan yang counterproductive, diskriminatif, dan melanggar hukum. Inggris dan negara-negara di Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia yang tingkat vaksinasi dosis penuhnya telah melebihi 60% tidak menerapkan kebijakan ini. Juga mayoritas (47) negara-negara bagian di Amerika Serikat tidakc menerapkan kebijakan ini, 21 negara bagian bahkan melarang kebijakan tersebut,” tutup Farouk.
    (fri)