Kurangi Konsumsi Batubara Dengan Biomassa Hutan

    spot_img

    Baca juga

    Anak Disetubuhi Pacar, Ayah Kandung Malah Ikut-ikutan

    BATAM, POSMETRO: Seorang lelaki paruh baya di Kecamatan Bengkong,...

    MTQ Tingkat Kabupaten Natuna Digelar 21 hingga 26 April 2024

    NATUNA, POSMETRO.CO : Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-XI Tingkat...

    Telkom Indonesia Kembali Raih Penghargaan Linkedin Top Companies 2024  

    JAKARTA, POSMETRO.CO : Konsisten mewujudkan transformasi sumber daya manusia,...

    Armada Rusak, Lalat dan Belatung “Serang” Rumah Warga di Sagulung 

    BATAM, POSMETRO.CO : Hampir sebulan sampah di Perumahan Citra...

    Susu Pertumbuhan vs Susu UHT: Mana yang Lebih Baik untuk Tumbuh Kembang Anak

    Jakarta, POSMETRO: Saat anak mulai memasuki masa MPASI, orang...
    spot_img

    Share

    JAKARTA, POSMETRO.CO: Implementasi penambahan biomassa hutan untuk pecampuran sumber energi (co-firing) pada pembangkitan listrik pada PLTU bisa berdampak positif pada pengelolaan hutan lestari dan penurunan emisi gas rumah kaca untuk pengendalian perubahan iklim.

    Kebijakan pemerintah untuk secara bertahap menuju energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi pendorong implementasi co-firing. Dukungan juga diperlukan agar harga biomassa hutan bisa kompetitif di tingkat produsen dan PLTU.

    Demikian terungkap pada diskusi pojok iklim yang diselenggarakan Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim secara virtual, Rabu (09/06/2021).

    Menurut Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya hutan sebagai sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Untuk itu sejumlah kebijakan telah dibuat yang bertujuan mendorong tumbuhnya hutan energi.

    “Dengan Undang-undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya ada kemudahan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk menerapkan multiusaha kehutanan termasuk mengembangkan hutan energi,” kata Bambang yang juga pelaksana tugas Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK.

    Direktur Usaha Hutan Produksi KLHK Istanto mengungkapkan, saat ini ada 567 izin usaha pemanfaatan hutan dengan luas 30,5 juta hektare. Tidak semua izin tersebut aktif beroperasi.

    Istanto menyatakan, kebijakan multiusaha kehutanan bisa menjadi insentif bagi pemegang izin untuk mengoperasikan konsesinya. Mereka bisa menanam berbagai jenis tanaman yang potensial sebagai penghasil energi berbasis biomassa.

    “Jenis tanaman itu misalnya kaliandra, gamal, akasia, dan lamtoro,” katanya.

    KLHK sebenarnya sudah mengalokasikan 142.172 hektare untuk hutan energi yang melibatkan 31 unit hutan tanaman industri (HTI) dan Perum Perhutani.

    Menurut Istanto, pengembangan hutan energi bisa semakin dipercepat karena kebijakan Indonesia saat ini adalah beralih ke EBT.

    “Co-firing biomassa dalam proses pembangkitan listrik di PLTU dapat mengurangi konsumsi batubara dan menurunkan emisi gas rumah kaca,” ungkapnya.

    Ketua umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo optimis, implementasi co-firing menjadi peluang untuk mendorong pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE). Cofiring tidak bisa hanya bersandar pada limbah, tapi harus didukung oleh feedstock berkelanjutan dari HTE.

    “Kayu dalam bentuk woodchips masih masuk hitungan ekonomis sebagai co-firing, di Jawa,” katanya.
    Hitung-hitungan APHI, harga jual wood chips alias kayu serpih yang ekonomis berkisar antara Rp. 666.000-Rp 995.000 per ton. Di Jawa, dengan dukungan infrastruktur yang baik maka harga keekonomian bisa tercapai.

    Di luar Jawa, dimana biaya produksi lebih tinggi maka harga keenomian belum dicapai dengan harga pasokan yang ditetapkan PLN saat ini yang mengacu pada harga batubara.

    Indroyono mengusulkan pemerintah untuk memberi insentif terkait harga keekonomian tersebut. “Perlu ada insentif seperti keringanan PPN untuk produk woodchips,” ujarnya.

    Indonesia menargetkan untuk meningkatkan bauran EBT dalam penyediaan energi sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang. Dari target tersebut sudah tercapai sebesar 11% pada tahun 2020 lalu.

    Selain itu dalam draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 yang masih dibahas penggunaan EBT juga akan ditingkatkan persentasenya hingga 48%.

    Koordinator Penyiapan Program Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Trois Diliusendi menyatakan, co-firing sangat pas untuk mendukung peningkatan penggunaan EBT. Pasalnya, tidak dibutuhkan investasi baru yang besar dan cukup memanfaatkan PLTU yang sudah ada.

    Implementasi cofiring juga secara cepat bisa meningkatkan total EBT dalam bauran energi nasional. “Dengan 5% cofiring di unit-unit PLTU, maka akan mendapat 900 MW listrik berbasis EBT setara 0,9% bauran EBT,” paparnya.

    Direktur Operasi 1 PT. Pembangkitan Jawa Bali M Yossy Noval A menyatakan pihaknya telah melakukan ujicoba untuk implementasi cofiring di sejumlah PLTU.

    “Hasil uji yang dilakukan co-firing terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca dan emisi Sox (sulful oksida) jadi memang lebih ramah lingkungan,” katanya.
    (fri)