Kenaikan PPn Perlebar Jurang Ketimpangan Sosial

    spot_img

    Baca juga

    Halal Bi Halal Guru dan Murid SD 01 Ranai Usai Lebaran Idul Fitri 1445 H

    NATUNA, POSMETRO.CO : Majelis guru, dan murid Sekolah Dasar...

    Kepala BP Batam Dukung Realisasi Pembangunan Premium Outlet Pertama di Batam

    BATAM, POSMETRO: Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) melalui Biro...

    Anak Disetubuhi Pacar, Ayah Kandung Malah Ikut-ikutan

    BATAM, POSMETRO: Seorang lelaki paruh baya di Kecamatan Bengkong,...

    MTQ Tingkat Kabupaten Natuna Digelar 21 hingga 26 April 2024

    NATUNA, POSMETRO.CO : Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-XI Tingkat...

    Telkom Indonesia Kembali Raih Penghargaan Linkedin Top Companies 2024  

    JAKARTA, POSMETRO.CO : Konsisten mewujudkan transformasi sumber daya manusia,...
    spot_img

    Share

    JAKARTA, POSMETRO.CO: Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPn) dari 10% menjadi 15% banyak menuai kritik. Salah satunya dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan, Bidang Ekonomi dan Keuangan (EKUIN) DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni mengatakan kenaikan PPn akan sebabkan ketimpangan yang lebih lebar.

    Farouk menjelaskan, masyarakat menengah atas, yang menurut estimasi Bank Dunia hanya sekitar 20-25 persen dari penduduk Indonesia, justru tidak terlalu bermasalah dengan kenaikan PPn. Tetapi kelompok ini tentunya akan mengurangi konsumsi mereka.
    “Sementara bagi sebagian besar masyarakat yang masuk kategori aspiring middle class, vulnerable, dan di bawah garis kemiskinan, kehidupan akan menjadi semakin sulit. Kenaikan PPn dapat picu kenaikan harga barang dan jasa. Kelompok miskin akan semakin tertekan daya belinya, dan secara umum kebijakan menaikkan PPn hanya akan memperburuk ekonomi kita.” Kata Farouk Alwyni, Kamis (27/5/2021).

    Menurut mantan profesional senior Islamic Development Bank (IDB) Jeddah ini, hubungan langsung antara pajak dan daya beli menjadi penting. Pajak mempunyai contractionary effect dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Pajak yang tinggi dapat mengurangi pendapatan negara, karena hal tersebut akan mengurangi daya beli dan investasi.

    “Berkaca dari pertumbuhan ekonomi triwulan Tahun 2021, sumber kontraksi banyak disumbang konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif 2,23% secara tahunan. Lihat, bahkan dengan pajak yang sekarang sebesar 10% saja, konsumsi sudah demikian tertekan. Apalagi kalau pajak dinaikkan jadi 15%,” ungkap Farouk.

    Jika rencana kenaikan pajak disetujui DPR, Farouk menilai itu justru melahirkan dampak domino yang merusak. Daya beli yang rendah akan berdampak negatif terhadap semangat berinvestasi dari pengusaha serta perusahaan,  hal ini tentunya akan berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja, dan pada gilirannya penurunan lapangan kerja akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya akan mengurangi penerimaan negara itu sendiri.

    Tak berhenti di situ, pajak yang semestinya bisa difungsikan sebagai instrumen pemerataan pendapatan, justru akan memperlebar ketimpangan si kaya dan si miskin.

    “Jadi hendaknya Kementerian Keuangan jangan hanya sekadar menggunakan logika kejar setoran seperti halnya debt collector penerimaan negara, tetapi juga bisa berpikir lebih luas terkait dampak ekonomi dari kenaikan pajak,” imbuh Farouk Alwyni.

    Farouk juga menegaskan, pemerintah sebaiknya tidak kehilangan semua jenis empati terhadap kelompok yang paling ‘tertinggal’ dalam merumuskan rencana kebijakan. Bagaimanapun PPn akan mepengaruhi harga akhir di tangan konsumen. Baik itu konsumen kaya atau miskin, masing-masing perlu menambah biaya dari semula 10% menjadi 15% dari total belanja.

    “Kelompok miskin akan lebih terpukul lantaran daya belinya belum pulih akibat pandemi Covid-19. Program bansos yang diperuntukkan pada mereka pun sejauh ini masih ditemukan banyak kasus, mulai dari bansos salah sasaran, mekanisme penyaluran yang kacau, dan pengawasan yang masih lemah sehingga rentan terjadi korupsi,” tegas Farouk.

    Maka menurut Farouk, rencana menaikkan PPn dirasa tidak tepat. “PPn baiknya jangan naik karena sangat kontraproduktif. Otoritas fiskal perlu lebih kreatif dari itu. Adapun kalau terpaksa naik, ada metode yang bisa dioptimalkan seperti misalnya menaikkan pajak terhadap barang-barang luxury atau barang yang mempunyai dampak negatif seperti minuman keras, rokok, dan yang seperti itu.’’

    Diketahui, rencana menaikkan PPn kembali mengemuka dalam pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional yang diadakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional beberapa pekan lalu.
    Sri Mulyani mengatakan, kenaikan tarif ditempuh sebagai salah satu opsi meningkatkan penerimaan negara pada Tahun 2022. Sejauh ini, Kemenkeu masih menggodok rencana kenaikan PPn untuk kemudian dibahas bersama DPR sebagai pihak penerbit regulasi.
    (fri/***)