SETIAP ada keponakan dari Pekanbaru mau cari kerja di Batam dengan tegas saya katakan tak usah. Batam lagi lesu ekonominya, kata saya.
Berbagai teori ekonomi awam yang saya sampaikan tak mempan. Bagaimanapun kata saya, daerah yang ekonominya bergantung pada alam (minyak, perkebunan misalnya) adalah itu yang lebih stabil. Batam hanya tukang jahit, jika ada orderan (bikin kapal, galangan kapal, pipa dan sejenisnya), baru ekonominya bagus. Kalau tak ada order dengan mudah saja perusahaan tutup. Bos-bosnya hilang malam. Walaupun perusahaan itu berkelas internasional.
Bandingkan dengan daerah yang gairah ekonominya dari alam. Tak ada permintaan ekspor tak apa. Hasil alam mudah dijual ke sesama rakyat Indonesia.
Tapi itulah jika potensi alam yang bikin banyak orang makmur itu tak bisa dimanfaatkan dengan jiwa entrepreneur. Tetap saja nak cari kerja. Jika tak jadi PNS ya swasta dengan merantau ke Batam salah satunya.
Apalagi dah tahu, Upah Minimum Kota (UMK) Batam untuk 2020 nanti Rp 4,1 juta. Bandingkan di Pekanbaru yang hanya Rp 2,9 juta. Tambah lagi mereka sudah dapat info harga makanan di Batam dan Pekanbaru sama saja. Makin mudah cari Nasi Padang sebungkus Rp 10 ribu! Heee…heee…
Tapi keponakan saya yang sudah merantau ke Batam dan kerja di bank BUMN, sudah siap-siap cari kerja lain. Penganten baru seminggu itu pun sudah memberi pengertian pada istrinya. Bahwa usia 35 tahun nanti (saat ini 28) dia kemungkinan tak dipakai lagi karena belum tentu mencapai prestasi tinggi untuk omset banknya.
UMK Batam yang “bunyinya” tinggi itu tetap jadi penggiur utama perantau. Tapi akan jadi pemusing utama pengusaha menghitung “mengakali” biaya. Salah satu caranya, kontrak per 3 bulan yang akan bikin karyawan tak akan dipermanen. Lah, sang karyawan yang sudah “terjebak” oleh mimpi Batam, pasrah menerima.***