Soal Lendir, Selalu Bikin Nagih

    spot_img

    Baca juga

    BP Batam – Lions Club Indonesia Kolaborasi Hijaukan Waduk Sei Ladi

    BATAM, POSMETRO: Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) melalui Badan...

    Bottor Erikson Pardede: Harta Pengusaha Singapura Dikuasai Orang Kepercayaan dengan Melawan Hukum

    BATAM, POSMETRO: Sekelumit masalah dihadapi Dewi, termasuk harta peninggalan...

    Saldo Rekening Pengusaha Singapur Lenyap Rp 8,9 Miliar, Sidangnya Alot di PN Batam

    BATAM, PM: Orangnya sudah meninggal dunia pada pertengahan 2021...

    Sekdaprov Kepri Terima Audiensi TIM PKDN Sespimti Polri, Sambut Indonesia Emas 2045

    KEPRI, POSMETRO: Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad diwakili Sekretaris...
    spot_img

    Share

    Sarapan mie lendir. Enaknya dimana? Di Batam, ada mie lendir yang terkenal. Namanya Mie Lendir Harum Manis. Harum Manis, merujuk pada nama kedainya. Lokasinya di Nagoya. Di tengah pusat bisnis dan hiburan di Kota Batam.

    ROZI JUHENDRA
    Koordinator Liputan POSMETRO

    Saya tinggal di Batam Kota. Jauh dari lokasi Kedai Harum Manis itu. Sekira 15 kilometer. Kurang-lebih begitu. Tapi, soal melampiaskan selera, jarak hanya soal titik satu ke titik lain. Tak lebih. Minggu lalu, saya ajak keluarga kecil saya sarapan disana. Kami naik mobil. Mesin mobil sudah saya hidupkan pada pukul enam pagi. Sepuluh menit selanjutnya, gas saya injak menuju arah Nagoya.

    Jalanan lengang. Mungkin karena minggu pagi. Tak seperti hari kerja yang macetnya minta ampun. Mobil hanya saya pacu 40 hingga 60 kilometer per jam. Menikmati suasana pagi. Menikmati jalan kota yang sepi. Menikmati suasana kebersamaan keluarga kecil.
    Memasuki wilayah Nagoya, jalanan masih lengang. Tak harus ada acara car free day untuk menikmati jalanan Nagoya tanpa kendaraan.

    Minggu pagi itu, saya mendapatkannya. Mendapatkan jalanan yang lengang. Hanya satu dua saya didahului atau mendahului kendaraan lain. Saya tak langsung menuju Kedai Harum Manis itu. Saya nikmati dulu suasananya. Jalan lengangnya. Melihat toko-toko yang masih tutup dari dalam mobil.

    Hampir jam delapan saat saya tiba di Komplek Bumi Indah. Disini lokasinya. Dikeliling toko. Banyak hotel. Saya tak dapat parkir persis di depan kedai yang saya tuju. Sudah penuh. Mobil harus saya parkir di depan Hotel Sari Jaya. Hotel yang dulu jaya. Hotel yang banyak pengunjungnya. Hotel yang harganya terjangkau. Berada di pusat bisnis dan hiburan. Hotel yang terkenal karena di sekitarnya banyak tempat jajanan oleh-oleh. Hotel-yang kini tinggal nama. Hotel yang sudah tutup total.

    Garis-garis putih yang menandakan tempat parkir di depan bangunan hotel itu belum terisi. Saya pilih parkir disana. Sedikit jauh dari kedai Harum Manis. Tapi, pagi itu, jarak 50 meter tentu saja terlalu dekat. Bisa menikmati jalan di depan bangunan hotel itu. Melihat bangunan tanpa aktivitas itu. Memandangi ke dalam lobi dari balik pintu kaca yang terkunci. Dan, membaca secarik kertas yang tertulis, Hotel Sudah Tak Beroperasi Sejak 1 Maret 2017.

    ***

    Semua meja terisi penuh. Saya harus antre. Menunggu meja ditinggalkan. Satu meja, di bagian tengah sudah selesai dipakai pelanggan. Saya masuk sebelum meja itu dibersihkan. Mie lendir dipesan. Kata orang, sangat maknyus jika dipadu teh tarik. Tapi, saya hanya minta air putih hangat.

    Menunggu mie datang, saya perhatikan bangunannya. Biasa saja. Terkesan sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sebuah ruko. Tembus depan belakang. Semua meja terisi.
    Tak lama menunggu jika yang dipesan seporsi mie lendir. Sangat menggoda selera. Sepiring mie kuning. Disiram kuah kacang kental. Ditaburi bawang goreng. Dihiasi telur rebus yang diiris. Ada taugenya. Semakin memecah selera melihat irisan cabe rawit yang hijau. Langsung saya sesap kuahnya. Hangat di lidah. Gurih. Mie dan tauge itu saya kunyah. Lembut. Sedap sekali. Pantas, banyak orang menyebut tempat ini.

    ***

    Kembali ke mobil, saya mampir di toko pakaian. Posisinya bersebelahan dengan hotel Sari Jaya tadi. Sepagi itu, toko sudah buka. Si pemilik menggelar dagangannya di depan toko. Seperti lapak kaki lima saja. “Cuci gudang,” kata seorang pria. Dia pedagangnya. Pakaian-pakaian itu dijual murah. Diobral. Pembeli puas memilih. Sebelum saya datang, sudah ada dua calon pembeli. Sibuk memilih. Pakain itu ditumpuk. Ada yang digantung. Di dalam toko, pakaian tak ditata rapi di etalase. Sama dengan kondisi di luar: berserak. Calon pembeli bebas memilih. Saya ikutan. Sempat bertanya, kenapa dijual murah? Apa mau tutup total? Dia tak menjawab. Hanya bilang, “Barang cuci gudang.” ***