Wakil Ketua II DPRD Batam Ahmad Surya, Jebolan Santri yang Jadi Politisi

    spot_img

    Baca juga

    Empat Penghuni Hotel Melati di Jodoh- Nagoya Diangkut Polisi

    BATAM, POSMETRO: Diduga kerap dijadikan sebagai tempat penyalahgunaan narkotika,...

    Batam Jadi Pilot Project Pemasangan Jaringan Gas

    BATAM, POSMETRO: Kabar gembira, Pemerintah Pusat melalui Kementerian ESDM...

    200 Warga Batam Mulai Mudik Gratis ke Jakarta Naik KM Kelud 

    BATAM, POSMETRO.CO : Sedikitnya 200 peserta mudik gratis Program...
    spot_img

    Share

    >>>Jualan Air Galon Sampai Jual Kapal Tongkang 

    LOYALITAS, kejujuran dan komitmen yang tinggi menjadi tiga hal penting bagi Ahmad Surya untuk menjalani berbagai aspek kehidupan. Baik menjadi pengusaha mau pun politisi.

    Wakil Ketua II DPRD Batam ini, berbagi cerita tentang kehidupannya dari seorang remaja lulusan pesantren, sebagai santri hingga menjadi seorang politisi.

    Selasa (1/10), politisi Partai Gerindra ini meluangkan waktunya untuk Tim POSMETRO, bercerita tentang kisah hidupnya.

    Baginya melangkah pergi dari Kampung kelahiranya di Makasar, Sulawesi Selatan menjadi menguatkan tekadnya untuk tak lagi bergantung pada orang tua. Menjadi beban bagi ayah dan ibunya.

    “Istilahnya saya buang diri,” ujar Ahmad Surya mengawali cerita menginjakkan kaki ke Batam hingga sukses menjadi pengusaha dan juga politisi hingga menempati posisi Wakil Ketua di parlemen Engku Putri.

    Sekitar tahun 1998 dulu, Ahmad Surya membulatkan niat untuk melanjutkan pendidikannya, setelah lulus dari pesantren 1992.

    Dia harus kuliah untuk mencapai masa depan lebih baik lagi. Rekan-rekan sejawatnya di Pesantren sebagian besar menjatuhkan pilihannya melanjutkan pendidikan ke Al Azhar. Tapi Surya-begitu ia akrab disapa, menjatuhkan pilihan berbeda.

    “Meski tamatan pesantren, tapi saya pikir tak cocok saya jadi ustad. Ketika teman-teman mendatangi dulu, kementrian agama, saya ke kementrian luar negri untuk mentraslate ijazah,” tuturnya.

    Ahmad Surya menjatuhkan pilihannya untuk melanjutkan kuliah ke Australia. Ia ikut ikut salah satu penyalur universitas di Jakarta. Tapi pilihannya ternyata tak seperti yang diharapkannya.

    Ternyata berada di Asutralia bergaul bersama anak-anak pejabat yang melanjutkan kuliah di sana, tak sejalan dengan pemikirannya.

    “Salah bergaul di Australia dengan anak-anak pejabat. Malah bukan kuliah justru lebih banyak ke kehidupan malam terus. Untungnya saya punya dasar dari pesantren ini. Saya putuskan untuk tidak melanjutkan,” ujarnya.

    Surya lantas memutuskan untuk pindah ke Singapura. Mencari kuliah yang mungkin cocok buat bekal hidupnya kelak. Tapi, yang ditemuinya pun sama. Di Singapura, dia menemui komunitas hampir sama.

    “Saya tak beri tahu orang tua kalau tak lanjutkan kuliah. Sudah dibiayai, malah tak lanjutkan. Jadi saya malu. Saya langsung ke Singapura. Jadi istilahnya saya buang diri, sudah cukup dibiayai oleh orang tua,” katanya.

    Karena tak juga sejalan dengan harapannya, akhirnya dia memutuskan untuk ke Batam.

    “Ada keluarga di Batam. Dari pada saya harus balik ke Sulawesi malu. Uang sisa yang saya pegang 1.500 dolar dengan nilai tukar Rp750 perdolar Singapura saat itu,” kata Surya melanjutkan kisahnya.

    Di sinilah kehidupan baru Surya. Tidak melanjutkan pendidikan formalnya. Kuliah di universitas. Tapi dia memilih kulihan di kehidupan yang lebih nyata.

    “Bagaimana saya bisa survive. Saya langsung bikin KTP dulu, bikin SIM. Lalu saya berusaha cari kerja,” kata Surya.

    Ternyata untung tak dapat ditebak. Surya muda dulu yang juga terbagung dalam klub bulutangkis, mencoba kembali memanfaatkan kehaliannya dalam berolah raga bulutangkis itu. Dia ikut bermain bulu tangkis bersama karyawan bahkan bos-bos perusahaan.

    Kepiawaiannya memainkan kok dengan raket itu, ternyata dilirik oleh salah satu bos perusahaan air minum. Dia pun kerap bermain bulutangkis, dengan bos-bos di salah satu produk air minum Aska.

    “Lalu saya ditarik (direkrut) oleh bos aska. Bapal Fahri Agusta, itu bosnya Aska dulu. Saya jadi sopir antara jemput karyawan,” ujarnya.

    Dia pun menjalani pekerjaan pertamanya, menjadi sopir antar jemput karyawan perusahaan tersebut. Dalam perjalanan, Surya mulai merasa tidak cocok dengan pekerjaan ini.

    “Saya bilang ke bos, tak cocok kerja jadi sopir setelah satu tahun. Bisa tak saya jualan. Jiwa pedagang mulai muncul. Jual air galon. Saya mau jualan,” kata Surya mengutarakan keinginannya kepada sang bos.

    Surya paham betul. Perusahaan air minum ini adalah perusahaan join. Yang pemodalnya dari banyak orang. Dia pun mencoba mengutarakan keinginannya untuk menjadi penjual air, kepada salah satu pemilik modal perusahaan tersebut.

    “Saya bilang ke bos, ini perusaan join. Kalau bos punya side bisnis sendiri keuntungan masuk ke kocek pribadi langsung. Jadi saya minta dibelikan mobil dan galon 50 buah, untuk jualan air. Saya jamin tidak mengganggu pasar yang ada,” papar Surya menjelaskan.

    Sang bos yakin dengan penjelasan Surya. Permintaan itu pun dikabulkan. Saat itu juga sang bos membelikan mobil.

    Surya mendapat harga dari sang bos, air minuma per galon Rp4.200. Surya sendiri harus menjual ke pasar Rp6.200. Cukup. Marjinya Rp2 ribu. Kerjaan baru menjadi penjual air galong pun dijalankan.

    “Setelah saya hitung-hitung, saya harus bisa menjual 150 galon per hari. Untuk menjalankan ini saya butuh dua helper. Saya rekrut dan saya jalankan bisnis ini,” kata Surya dengan yakin.

    Jiwa pedagang Surya tak salah. Tanpa perlu waktu lama, semua targetnya terpenuhi. Bahkan dua helper yang direkrutnya pun bergaji dua kali lipat dari UMK saat itu.

    “Saat itu UMK Batam masih Rep240 ribu. Pekerja saya saya gaji Rp500 ribu. Saat itu saya jual per galon Rp6.200. Mocal beli Rp4.200. ada marjin Rp2.000,” terang Surya.

    Sebagai perantau yang baru menginjakkan kaki di Batam, Surya sudah tergolong perantau yang sukses. Bisnisnya berjalan lancar. Tak hanya air galon, ia pun memasarkan tabung gas dan juga jasa service kompor gas saat itu.

    Hingga akhirnya, dalam perjalanan bisnisnya itu, tanpa sengaja pula ia bertemua salah satu bos perusahaan karet di salah satu kawasan industri.

    “Waktu itu saya sedang bekerja menjalan usaha air galon, masuk ke kawasan industri. Saya bertemu bos pabrik karet. Saya ditawarin menjadi manajer untuk perusahaan karet,” Surya melanjutkan ceritanya.

    Dengan tekad untuk perbaikan hidup Surya pun berhenti bekerja sebagai penjual air galon. Ia luruskan niatnya untuk  menjadi manajer di perusahaan karet itu.

    “Saya ditawari gaji seribu dolar. Memang lebih kecil dari penghasilan jual air galon. Tapi saya sudah tidak perlu capek-capek lagi mengatar air galon kepelanggan,” katanya.

    Waktu itu tahun 2001. “Saya kerja memasarkan karet, sampai ke Jakarta. Jadi marketing. Saya tawarkan juga ke kawasan Lobam,” ujarnya.

    Singkat cerita. Hingga tahun 2003. Surya memutuskan untuk berangkat umroh.

    “Karena disarankan oleh kakak saya. Saya pikir ini juga harus dijalani. Saya harus sempurnakan rukun Islam saya, ini dengan pergi ke tanah suci,” tuturnya.

    Saat itu pula, Surya memutuskan untuk berhenti bekerja di pabrik karet itu. Dia menjalani ibadanya dengan tenang. Mungkin ini pun sudah menjadi suratan Allah. Di tanah suci pun Surya bertemu seorang wanita yang ternyata adalah anak dari Dirut perusahaan pupuk Petro Kimia Gresik.

    Dia pun sempat menjalani hubungan dengan wanita yang ditemuinya di tanah suci itu. Bahkan Surya pun mendapat berkah dengan mendapatkan iizin menjadi agen pupuk bersubdisi di Sulawesi dan Medan saat itu.

    “Tapi mungkin bukan jodoh. HUbungan tak berlanjut. Bahkan agen pupuk subsidi ini juga saya alihkan ke orang lain,” ujarnya.

    Nah, perjalanan Surya pun belum usai. Sebagai orang yang memiliki semangat kerja yang tinggi, ternyata sangat disukai oleh para pengusaha. Mantan bosnya yang di perusahaan karet kembali memanggilnya. Ia diminta untuk mengelola perusahaan baru, yaitu perusahaan plastik.

    “Saya dipercaya untuk mengurus perusahaan itu. Saat itulah dapat faislitas mobil dan handphone 3310,” katanya.

    Hingga akhirnya Surya pun mendapatkan kepercayaan yang lain dari salah satu pemilik pabrik plastik tadi. Dia diminta memasarkan plastik-plastik dari China untuk dipasarkan di Batam. Tanpa modal. Hanya kepercayaan saja.

    “Saya langsung mendapatkan lima kontainer plastik. Berbagai ukuran. Yang menajdi kebutuhan pedagadang di Batam,” tuturnya.

    Lima kontainer plastik yang disebut Surya itu, bernilai Rp7 miliar. Inilah yang harus dikelola oleh Surya untuk kembali menghasilkan Rp7 miliar kepada bosnya.

    “Disinilah saya kaget, saya sudah punya utang Rp7 miliar. Tapi bos ini benar-benar baik. Tak peduli. Kapan Rp7 miliar itu dikembalikan. Yang penting plastik ini terjual dan bisa menghasilakan uang,” Surya menjelaskan lagi.

    Bisnis plastik ini juga membawa kejayaan buat Surya. Surya juga kembali mendapat kepercayaan mengelola pabrik plastik yang khusus untuk diekspor ke Amerika.

    “Sampailah 2011. Saya sudah bergaji 15 juta. Belum lagi penghasilan dari jualan plastik,” katanya.

    Tapi garis tangan sebagai pengusaha memang berjalan lurus. Tanpa rintangan. Tanpa halangan. Hingga akhirnya Surya yang pernah merantau ke Balikpapan, Kalimantan Timur, kembali berhubungan dengan rekan-rekannya di sana.

    Tak disangka, pula, ia mendapat tantangan untuk mencari kapal, untuk usaha sebuah tambang di sana.

    “Saat itulah ada teman yang mau beli kapal. Dan saya dipercaya untuk mencari kapal, satu set. Dalam perjalanan 2011 ke  2013 saya berhasil mendapatkan kapal itu. Tongkang dan tugboat. Saya pergi ke Tunas Karya Bahari, harus berangkatkan kapal itu ke balikpapan. Hasil penjualan itu, saya mendapatkan Rp1 miliar,” tuturnya.

    Tentu bagi Surya ini pencapaian yang luar biasa. Jika selama ini dia hanya mengumpulkan keuntungan dari Rp1.000 sampai Rp2 ribu dari hasil penjualan air galon mau pun plastik, kini hanya bermodal kepercayaan dia bisa menghasilkan Rpo1 miliar untuk satu kali penjualan.

    “Saat itulah saya pikir menjual kapal lebih untung. Saya mulai untuk bergerak di bidang penjualan kapal.

    Akhirnya saya berhenti bekerja di pabrik dengan gaji Rp15 juta tahun itu 2011 itu. Saya mulai jadi marketing kapal,” Surya menjelaskan.

    Hingga akhirnya orderan besar pun didapatkannya. “2013 saya dapat kontrak pertama 14 set kapal, dengan nilai Rp300 miliar,” ujarnya.

    Bisa dibayangkan menurut Surya. Dia yang seorang pemuda tamatan pesantren berjualan, mulai jual karet, plastik, pupuk hingga kapal.

    Sejak 2007 Surya mulai tertarik ke politik. “Ya biasalah mulai banyak uang. Mulai ada teman-teman yang mempengaruhi. Akhirnya saya belajar belajar masuk politik. Masuk partai 2009 di Hanura. Caleg 2009 gagal. 2014 saya maju lagi. Saya yakin, saya suara banyak tapi ada yang lebih banyak lagi. Saya gagal lagi,” paparnya.

    Tiba tahun 2019 silam. Surya yang beralih partai ke Gerindara, akhirnya bisa mewujudkan harapannya menjadi wakil rakyat di DPRD Batam. Bahkan saat ini, ia pun kini dipercaya duduk di wakil Ketua.

    “Bagi saya berada di posisi apapun kita bisa membantu banyak orang,” ujarnya.

    Kisah panjang kehidupan Surya ini, dijalani dengan keikhlasan. “Saya tak punya target atau apapun. Jalani saja hidup ini dengan ikhlas. Inilah yang akan membawa kita ke kesuksesan. Menjalani apapun harus dengan loyalitas, komitmen tinggi dan satu lagi kejujuran,” paparnya.

    Namun satu yang tak terlupakan oleh Surya, pesan sang ibu. “Ibu saya selalu berpesan. Jadi apapun, meski pun jadi penjual tomat, tapi kita harus menjadi kepala penjual tomatanya,” kata Surya.

    Baginya berprofesi apapun, memberikan manfaat kepada orang banyak menjadi hal utama.

    “Pendidikan saya di pesantren benar-benar menjadi sangat bermanfaat untuk kehidupan saya,” tutupnya. (***)