Refleksi Akhir Tahun 2020 : Pembangunan Kecerdasan Politik Rakyat Untuk Indonesia Yang Lebih Maju

    spot_img

    Baca juga

    33 Permohonan PKKPR Dibahas Forum Penataan Ruang Daerah

    BATAM, POSMETRO.CO : Forum Penataan Ruang Daerah (FPRD) Kota...

    Pejabat TNI AL Kunjungi Pemko Batam

    BATAM, POSMETRP.CO : Sejumlah pejabat tinggi TNI Angkatan Laut...

    Indosat Ooredoo Hutchison dan Mastercard Umumkan Kemitraan Cybersecurity Center of Excellence

    >>>Mengupayakan perlindungan serta peningkatan kepercayaan dalam ekonomi digital Indonesia JAKARTA,...

    Halal Bi Halal Guru dan Murid SD 01 Ranai Usai Lebaran Idul Fitri 1445 H

    NATUNA, POSMETRO.CO : Majelis guru, dan murid Sekolah Dasar...

    Kepala BP Batam Dukung Realisasi Pembangunan Premium Outlet Pertama di Batam

    BATAM, POSMETRO: Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) melalui Biro...
    spot_img

    Share

    Farouk Abdullah Alwyni

    JAKARTA, POSMETRO.CO : Menjelang akhir tahun 2020, kita disajikan pertunjukan politik unik di Indonesia, terutama ketika Sandiaga Uno diangkat menjadi Menteri di Kabinet Jokowi.

    Dengan masuknya Sandiaga ke kabinet pemerintahan Jokowi, maka lengkaplah sudah satu pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Sandi) dari kubu lawan pasangan Jokowi-Ma’ruf, masuk menjadi anak buah pasangan Jokowi-Ma’ruf yang memenangi pemilihan Presiden 2019.

    Proses politik yang terjadi tersebut, adalah sebuah hal yang unik dalam konteks internasional negara demokrasi modern. Bahkan hal yang terjadi itupun adalah sebuah sejarah baru dari proses demokrasi Indonesia sejak dimulainya proses pemilihan presiden yang langsung dipilih oleh rakyat ditahun 2004.

    Mungkin ingin meminimalkan gesekan politik saat proses pilpres, dimana dua kubu pendukung calon pasangan presiden tersebut saling memberikan hujatan satu sama lain dengan istilah “cebong” dan “kampret.”

    Tetapi persoalannya, proses politik yang tejadi tersebut pada dasarnya menegaskan konsep demokrasi yang dikenal secara luas, biasanya pihak yang kalah berada diluar dan menjadi oposisi, mengkritisi pemerintahan yang berkuasa, agar proses “check and balance” bisa terjadi. Karena dengan ketiadaan proses “check and balance” pada esensinya yang dirugikan adalah demokrasi itu sendiri, dan masyarakat secara keseluruhan.

    Farouk Abdullah Alwyni seorang Pakar Ekonomi Syariah dan Pengamat Politik menyampaikan pandangan politiknya, terhadap situasi politik saat ini, di penghujung tahun 2020. Refleksi Akhir tahun ditinjau dari sisi politik kebangsaan:

    “Proses kontrol dalam penyelenggaraan negara disebuah negara demokrasi adalah hal yang harus dilakukan, karena tanpa kontrol, tidak mustahil kekuasaan cenderung mudah untuk disalah gunakan. Kita mendengar istilah lama terkait hal ini yang disebut dengan, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, belakangan lembaga-lembaga pembangunan internasional menggunakan istilah “good governance”, bahkan dalam level perusahaanpun dikenal secara internasional istilah “good corporate governance,” paparnya dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (31/12/2020).

    “Kata-kata bijak dari Benjamin Franklin, salah satu “founding father” Amerika Serikat yang menyatakan, “it is the first responsibility of every citizen to question authority” (tanggung jawab utama dari setiap warga negara untuk mempertanyakan otoritas). Dan yang tidak kalah penting, ketika kita menghadapi penurunan kualitas demokrasi dewasa ini, kemudian pernyataan George Washington, Presiden Pertama Amerika Serikat, mengatakan “If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”( Jika kebebasan berbicara dicabut, dan kita diarahkan untuk bisu dan diam, seperti domba-domba yang akan disembelih). Tentunya ada batas antara kebebasan berbicara dan penghinaan, tetapi esensi kebebasan berbicara disini adalah kritik terhadap pemerintahan,” tegas Farouk.

    “Jelas bahwa dukungan dan kepatuhan kepada pemerintahan ataupun Presidennya, terlepas apakah agama memegang peranan penting atau tidak dalam negara tersebut, hanya berlaku jika sang pemimpin tersebut berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kebaikan, dan pemihakan kepada rakyat kebanyakan. Hal ini berlaku mulai dari masa Kekhalifahan Rasyidin dahulu sampai dengan konteks negara modern yang berdasarkan demokrasi dewasa ini,” imbuhnya.

    Dalam konteks negara demokrasi Indonesia dewasa ini, maka perlu dibangun sebuah kesadaran dikalangan masyarakat bahwa mereka selalu mengedepankan konsep conditional support kepada para pemimpin yang dipilihnya, agar tidak terjadi kediktaroran dan menjadi negara otoriter.

    Memang demokrasi, bukanlah sebuah sistim yang ideal, bahkan oleh para pemikir dan politisi Barat sendiri, tetapi untuk saat ini, demokrasi adalah sebuah sistim yang bisa menghargai hak asasi manusia (HAM) dan mengantarkan kesejahteraan dan kemajuan di negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur, Skandinavia, maupun Australia dan New Zeland dibandingkan dengan sistim-sistim lainnya, apalagi sebuah sistim monarki absolut model Saudi Arabia ataupun sistim satu partai model komunis China yang cenderung represif dalam memaksakan kehendaknya. Atau kita lihat model-model Republik yang pada dasarnya adalah negara-negara otoriter, model yang ada di Mesir (diktator militer), Syria (diktator sipil), ataupun model ‘hybrid’ Korea Utara (pemerintahan komunis).

    “Kembali kepada realitas politik Indonesia akhir tahun, dimana satu pasang calon yang kalah dalam proses demokrasi pada akhirnya “submit” dan mengikuti sang calon pemenang, adalah sebuah pelajaran politik penting bagi para pendukung fanatik kedua pasang calon tersebut, bahwa politik pada dasarnya bisa begitu cair, terlebih lagi di Indonesia, dan para pendukung kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka tidak bisa “gelap mata” terhadap pihak yang didukungnya, baik itu bagi sang pemenang maupun yang kalah.
    Kita dengar kekecewaan datang dari kubu kedua belah pihak, baik bagi para pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Pendukung pemenang melihat sendiri bagaimana lawan yang sebelumnya diserang habis-habisan ternyata pada akhirnya bisa mendapatkan posisi, namun sang pendukung fanatik justru tidak mendapatkannya. Lebih parah lagi adalah para pendukung pihak yang kalah, yang telah banyak menggunakan sumber dana mereka sendiri sewaktu kampanye (dengan dalih Prabowo-Sandi tidak mempunyai kekuatan pendanaan sebesar pasangan Jokowi-maruf, alasan yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan), bahkan ada yang berdarah-darah, masuk tahanan, sebagian meninggal ketika memperjuangkan pasangan yang didukungnya dalam demo di depan KPU pada Mei 2019 yang lalu. Coba bayangkan apa yang dirasakan keluarga para korban pendukung pasangan Prabowo-Sandi melihat realitas politik yang seperti mengkhianati esensi perjuangan mereka,” ungkap Farouk.

    Semoga hal tersebut menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat, bahwa kedepannya rakyat tidak perlu terlalu fanatik kepada para calon yang didukungnya. Rakyat harus menyadari bahwa mereka mendukung calon yang mereka dukung adalah karena disatukan oleh cita-cita dan idealisme perjuangan semata, begitu para figur yang didukungnnya dianggap sudah tidak berada di rel cita-cita perjuangan dan idealisme bersama, pada saat itulah mereka sudah harus siap meninggalkan figur yang didukungnya tersebut. Karena fanatisme buta kepada satu figur pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekecewaan yang luar biasa. Dan ini berlaku tentunya bukan hanya untuk dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang lalu, tetapi yang terpenting adalah dalam kontestasi politik kedepannya, dan yang terdekat di tahun 2024 mendatang.

    Pembangunan kecerdasan politik rakyat penting dalam rangka menghilangkan “slavish attitude” (watak budak) dari rakyat, yang melihat figur yang mereka dukung adalah segala-galanya bahkan seperti figur setengah dewa.
    Pada akhirnya walaupun mungkin mereka memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi pastinya merekapun mempunyai kekurangan-kekurangan, karena mereka bukan malaikat, ataupun Nabi yang ma’sum.

    “Dalam konteks politik Indonesia mendatang khususnya nanti dalam pemilihan Presiden 2024, rakyat harus cerdas, bahwa orang-orang yang akan ikut kontestasi pemilihan presiden tersebut adalah calon-calon pelayan publik yang perlu memberikan pelayanan yang terbaik untuk rakyat, bukan para calon penguasa yang akan menjadi tuan-tuan mereka, yang setelah duduk di singgasana kekuasaan hanya mementingkan kelompok elite saja. Rakyat juga perlu menyadari bahwa dukungan mereka terbatas jika para calon yang dipilihnya adalah benar-benar mempunyai pemihakan kepada rakyat banyak, dan bisa berjuang untuk menegakkan sebuah sistim yang berKetuhanan, berkemanusiaan, menjaga persatuan, menghargai musyawarah, dan tentunya akan berjuang untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    Rakyat dalam perjuangan politiknya, perlu membuang jauh-jauh mental-mental neo-feodal, yang terlalu mengagung-agungkan para junjungannya, padahal dalam konteks demokrasi modern, figur-figur yang tampil tersebut harus menjadi figur-figur yang justru mewakili kepentingan rakyat banyak, figur-figur yang harus merasa lemah jika tidak bisa menjaga kemaslahatan rakyat ataupun kepentingan kelompok rakyat yang tertindas, dan figur-figur yang harus merasa kuat dan bisa keras jika berhadapan dengan elite-elite yang justru membawa kemudharatan untuk rakyat ataupun elite-elite yang mempunyai sifat menindas,” pungkas Farouk Abdullah Alwyni
    Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED).***