Semuanya Tumbuh

    spot_img

    Baca juga

    Bentrok Berdarah di Kos-kosan Bengkong Indah

    BATAM, POSMETRO: Tersinggung dituduh selingkuh dengan pacar temannya, Satria...

    Ansar Melepas Jalan Santai Ilunisda Tanjungpinang

    KEPRI, POSMETRO: Gubernur Kepulauan Riau H. Ansar Ahmad yang...

    Gubernur Ansar dan Alumni SMAN 2 Tanjungpinang Rayakan Persaudaraan di Reuni Akbar

    KEPRI, POSMETRO: Ikatan Alumni SMAN 2 Tanjungpinang (ILUNISDA) menggelar...
    spot_img

    Share

    Ade Adran Syahlan

    TUKANG cukur rambut, memang tak bisa cukur rambutnya sendiri. Tapi rambutnya tetap rapi, karena dicukur teman seprofesinya.

    Tapi pernahkah Anda membayangkan, ketika reporter menulis berita soal naiknya pertumbuhan ekonomi tapi justru ekonomi dia (sebagai masyarakat) morat-marit?

    Dia tetap harus menulis angka pertumbuhan yang disebutkan nara sumber. Tanpa bisa menjabarkan apa dampak tumbuh itu bagi masyarakat. Cobalah baca berita tumbuh-tumbuh itu. Sok paham saja kita, kan?

    Kita lebih paham apa itu pertumbuhan ekonomi saat tak merasakan istri yang mengeluhkan duit 100 ribu tak cukup lagi dibawa ke pasar pagi. Ketika gas melon susah didapat karena semuanya pakai gas itu padahal hanya untuk golongan tertentu. Atau ketika premium menghilang karena semua pakai BBM murah tersebut walau mobil mewah. Atau satu lagi, tak kan berbondong-bondong orang pindah ke kelas 3 kartu BPJS Kesehatannya.

    Intinya, tumbuh kata penguasa itu memang tumbuh di warganya. Tumbuh yang pakai tanda petik. Alias naik. Harga naik tapi pendapatan bertahan atau malah berkurang sehingga berhemat dengan cara ber-gas melon atau turun kelas BPJS.

    Saya jadi ingat, kata-kata bijak yang sebenarnya harus bertanda petik ini: media itu harus memperlihatkan optimisme. Ya, media mainstream sudah melakukan itu sejak zaman Orba hingga saat ini. Tapi “melawan” kenyataan tumbuh yang berbeda di masyarakat tak terbendung.

    Saya juga jadi ingat, saat siap-siap ditanya mahasiswa soal ekonomi tumbuh tapi kenyataan di masyarakat kepayahan ekonominya. Sudah menyiapkan berbagai teori. Tapi nyatanya, tak ada mahasiswa bertanya. Apa antipati dan tak ambil peduli?

    Tak juga bisa disimpulkan. Yang jelas, angka pertumbuhan ekonomi itu susah nak dijelaskan pakai bahasa awam. Mungkin karena itu juga dari figur-figur terkenal kepakaran ekonominya di lembaga saat saya ngajar dulu, tak ada yang dengan rela ambil mata kuliah Ekonomi Makro untuk diajarkannya. Lah, saya yang telat datang rapat akademis, hanya mata kuliah itulah yang tersisa.

    Mungkin, jika mengajar lagi lalu ada mahasiswa bertanya soal pertumbuhan ekonomi dibanding realita masyarakat, dia akan saya suruh baca koran (atau media mainstream lain). Baca berita tumbuh versi penguasa. Baca berita “tumbuh” di masyarakat. Lalu dia simpulkan sendiri dengan teori yang sudah dipelajari.

    Walau mungkin jawaban si mahasiswa kurang tepat, setidaknya dia sudah “menghargai” jasa reporter yang bikin berita tumbuh versi penguasa itu. Semoga saja dengan membeli koran atau klik website (terklik pula iklan Google Adsense) itulah awal rezeki bagi si reporter. Heee…heee…***